sebuah lorong di bawah rel kereta api yang bukan tempat tinggalku, sampah yang menghitam dari api dan sikap acuh pejalan kaki, semprotan DDT yang sebentar aku kira asap sate, tidak ada poetry. aku berjalan tegap lurus ke depan, sol sepatuku kulit, hand-made, mengetuk aspal seperti bosan, tidak ada poetry. aku berjalan menggandeng anakku perempuan, menghindari tong sampah hijau, oranye, biru, organik, panik, ada atau tidak ada bajaj di depan, di belakang, tidak ada poetry. istriku takut sedih, takut lupa, takut daftar belanja luxola, rambutnya warna-warni seperti rumah gaudi, tidak ada poetry. aku berjalan menggandeng istriku, di sebuah lorong di bawah mall yang bukan poetryku, menghindari sampah warna-warni yang bosan, menghitam, tidak ada poetry.
Gogon or Diskursus or How To Survive Dunia Sastra Yang Penuh Dusta
I am a sensitive artist.
Nobody understands me because I am so deep.
In my work, I make allusions to books that nobody else has read,
Music that nobody else has heard,
And art that nobody else has seen.
I can’t help it, because I am so much more intelligent and well-rounded
Than everyone else who surrounds me.
I stopped watching TV when I was six months old
Because it was so boring and stupid,
And started reading books,
And going to recitals and art galleries.
I don’t go to art galleries anymore
Because there are people there,
And I can’t deal with people,
Because they don’t understand me.
I stay home, reading books that are beneath me,
And working on my work, which no one understands.
I am sensitive.
– Sensitive Artist, King Missile
i am a sensitive artist, tapi kali ini aku akan cosplay menjadi i ain’t a sensitive artist! terlalu banyak tubir dalam skena sastra akhir-akhir ini terjadi karena orang-orangnya terlalu sensitif, bertelinga tipis, terburu-buru salty memaki konteks konteks kontol! daripada berusaha mengerti konteks omongan orang lain, cepet banget menganggap kritik sebagai bullying, reluctant buat appreciate Charisma, Uniqueness, Nerve, and Talent orang lain karena lebih gampang bilang, they’re just CUNTS. gogon figure.
jangan salah, gue juga suka gitu. pertama kali baca terjemahan-terjemahan bukowski hamzah dan kumpulan puisinya hompimpa alaium gambreng gue juga langsung menghakiminya sebagai “tryin too hard to b edgy n kewl” dan “hipermaskulin to a cringe fault” tapi kemudian gue inget sebuah meme yang suka jadi pegangan gue pas lagi cry cry di bawah pohon belimbing, disco!, merasa ga dimengerti oleh dunia:
*MEMENYA ILANG
*secarik kertas digital berfont comic sans SINI DEH NONGKRONG MA GUA KALOK CUMA DENGERIN ORANG LAIN MAH PASTI GUA DAPET TAI2NYA AJA
jadi nongkronglah gue di atelir, ketemu sama nunu, adib, aldi, andini, gielang, chika, endesbra endesbray, e_____y! wah ternyata biarpun puisi-puisi hamzah hipermasmaskulin doi ude ciptain space yang ramah, hiperintersectional, so diverse awww, buat girl-poets, kweer-poets, pasming-poet slash pastor swagstra nondenominational slash gatekeeper magang, marxists, lekraists, wow, mangstab juga ni ngabngab. my bad. bener juga waktu itu ada yang gogonin gue bilang “ah si mike, dia kan sok tau, dari bordieu sampai tai kebo dia juga pasti punya pendapat.”
walaupun di tatanan gatekeeping hamzah bekerjasama dengan gatekeeper-gatekeeper CEO yang gue berbeda pandangan, kontradiksi strategi ini dengan hawa-hawa non-establishment di safe space atelier ceremai yang doski bangun jadi menarik. gue akan lanjut meNENGARAi move-move politik sastra hamzah selanjutnya.
makenye (duh ketularan rawamangunese nih) semenjak sastra indonenong makin banyak cancel-cancelannya gue jadi makin setuju sama sarah schulman dan bukunya, “conflict is not abuse: overstating harm, community responsibility, and the duty of repair.” kalau diparafrase ala Adib Arkan ini jadi “lo berantem doang bilangnya bulla bully, jangan playing victim mulu lu, reach out dong, tongkrongin noh musuh-musuh lo”.
beneran deh, sebisa mungkin, walaupun digogonin separah apapun (“homophobic” anyone?), gue kalau bisa selalu berusaha cari tau dulu nape si ni anak salty amat, konflik sebenernya apa sih? ada ga sih yang gue katakan atau lakukan yang mungkin bikin mereka jadi terLUKA. bisa ga sih nongkrong bareng buat mengobatinya bersama? seringnya memang kesempatan ini ga ada, jauh lebih mudah spill di subtweet daripada ngobras di atelir. walau akhirnya twitwar lebih sering berujung crying over spilt milk. gogon figure.
kalau ada yang ngikutin drama Saut Situmorang vs. sunlie di fb kemarin mungkin udah denger juga bahwa mereka menyelesaikan perseteruannya dengan ketemu dan ngobras di JBS (Jual Buku Saut) dan sekarang mereka sudah berdamai. walaupun gue tep #timsaut karena kritik-kritiknya tentang kolonialisme, rasisme, yang ga kudus samsek di cerpen “keluarga kudus” pilihan kompas karya sunlie masih sangat valid dan belum terjawab, mereka berdua sudah nongkrong berdua untuk melaksanakan “duty of repair” tadi. demi sastra indonesia. hiphip hurahura. disco! gogon figure.
tapi memang untuk practice compassion toward others (yang berarti juga self-compassion) di dalam dunia sastra indonesia memang gak gampang. terlalu banyak tipu daya aka DUSTA (Saut™) yang bisa berbentuk macem-macem dari gatekeeping, gaslighting, hypocrisy, apropriasi, korupsi, virtue signaling, endesbraendesbray. sering rasanya gue merasakan cognitive dissonance yang parah waktu mencoba mengerti apa yang sebenernya terjadi dalam sastra indonesia. seperti kata almarhum eyang sapardi, “sebenernya begini, eh bilangnya begitu, gimana siiih.”
seorang penyair besar yang hobi nulis pake huruf kecil dan hobnobbing sama crème de la crème ada apa dengan cinta jakarta menghabiskan waktunya nyinyirin dan nyalahin “jawakarta”. memang benar jakarta adalah ndoro kolonial dalam banyak lini kehidupan di indonesia, tapi apakah kemudian juga benar untuk menyamaratakan semua anak skena sastra jawakarta, bahkan jaksel, sebagai privileged gatekeepers, seakan-akan semuanya punya akses ke pusat kekuasaan? apalagi jika tuduhan itu datang dari penyair terbesar, terlaris, terhegemonik seindonesia, rajakecil di tengah pusat kekuasaan indonesia tengah. warna apakah kemunafikan? gogon figure.
beberapa tahun lalu tersebar gogon yang sekarang udah jadi open secret di skena bahwa sebuah festival sastra internesyenel besar ternyata korup, fundingnya dikemplang sama organizernya. tapi ga pernah ada tuh laporan investigatif di tempo tentang ini, dan organizer-organizer tersebut juga sampai sekarang masih bebas aja CUAP-CUAP di skena seakan-akan nggak pernah terjadi apa-apa. gogon figure.
john mcglynn pernah jadi petinggi komite buku nasional kemudian mendaftar funding terjemahan buat yayasan lontarnya sendiri. don’t bite the hand that feeds… unless it’s your own hand? doublespeak macam apa ini? mending
don’t speak, i know just what you’re sayin’, so please stop explainin’, don’t tell me ’cause it hurts
. gogon figure.
persidangan saut di-spin oleh denny ja dan komplotannya sebagai “sekedar” kasus sipil antara saut dan fatin hamama. namun orang yang mengikuti sastra tahu bahwa fatin dekat dengan denny ja dan gogonnya adalah apa yang terjadi pada saut adalah warning bagi baby saut-baby saut lain yang ingin bersuara. tapi ada yang tahu nggak kalau di persidangan suka hadir juga mohammad guntur romli dan nong mahmada jadi cheerleaders fatin? kenapa dua orang yang sangat dekat dengan salihara dan goenawan mohamad – yang praktek-praktek busuk politik sastranya dibongkar oleh saut – bela-belain dateng ke persidangan ini? apa hubungan mereka dengan kasus saut? apa hubungan goenawan mohamad dan denny ja? apakah kriminalisasi ini terjadi karena mereka punya satu common enemy, saut? gogon figure.
establishment sastra pertama yang gue kunjungi waktu balik for good ke jakarta tentu adalah progenitor salihara, teater utan kayu, establishment sastrawi paling menghegemoni waktu itu. suatu malam gue datang di acara diskusi buku laksmi pamuntjak, “perang, langit dan dua perempuan”. buku yang aneh, karena diiklankan sebagai “intervensi” laksmi terhadap intervensi simone weil dan rachel bespaloff terhadap iliadnya homer (waktu itu buku bespaloff lagi rada heitz karena baru aja diterbitkan lagi sama new york review books sans of setelah lama out of print), tapi mana nih intervensi laksmi-nya, kok nggak dateng-dateng? tapi tep aja, di diskusi itu seorang dosen filsafat dari bandung memuji-muji tulisan laksmi karena menurutnya “erudit”. waktu itu belum ada ivan lenin, jadi belum bisa “E_____Y pake D yang baik dan benar, cyeeeekkkk!” pas dia lagi-lagi memuji laskmi yang menyetujui interpretasi bespaloff tentang sob story priam ke brad pitt (biar dibolehin membawa jenazah eric bana balik ke troy), sesuatu yang dia anggap manusiawi aja, aku mengangkat tangan. “eh sori, tapi kan berabad-abad commentaries tentang passage ini banyak yang suggest kalau priam the old king slash political strategist slash spin doctor was just being cynical, cuman pengen ngelelehin hati achilleus aja? μνῆσαι πατρὸς σοῖο θεοῖς ἐπιείκελ’ Ἀχιλλεῦ, τηλίκου ὥς περ ἐγών, ὀλοῷ ἐπὶ γήραος οὐδῷ – achilleus cyin, plis deh, eke tu dah bau tanah kali kayak bokap lo jugak, sesama boomer zeus kita tu, ciyan kan dia, nah kamu gaosah galak-galak gitu juga deh sama eke. oke wak?” gm dengan salty berdiri di dalam teater black box yang nggak bener-bener black dan menjawab, “kita harus tetap berterima kasih kepada laksmi karena memperkenalkan bespaloff kepada kita.” gue jawab lagi dong, “kan yang memperkenalkan bespaloff kepada kita new york review books?” trus gue baru mau nyolot lagi, menquote the iliad dalam bahasa yunani kuno aslinya lagi, πρίν γ’ ἢ ἕτερόν γε πεσόντα – gua males sama elo!, misalnya, tapi ayu utami mengintervensi, “udah, udah”. di situlah gue mulai bertanya-tanya, katanya yang nongkrong di tuk orang-orang pinter, kok ternyata mereka basic banget sih? jadi, nongkrongin juga ada efek sebaliknya, yang dari jauh kayaknya emas berkilauan, begitu dideketin kadang-kadang ternyata taik juga. gogon figure.
selain ke tuk, waktu itu gue juga sering ke meja budaya, acara diskusi sastra yang diasuh martin aleida. bang martin orang baik, tapi setelah beberapa kali ke situ, gue mulai bertanya-tanya: satu, where are the gays; dua, where are the girls?; tiga, does humor exist in sastra indonesia? ironis juga bahwa kira-kira 10 tahun kemudian, gue berdiri di panggung teater kecil yang nggak kecil itu untuk mengumumkan pemenang sayembara manuskrip puisi dkj dan mendengar oooowgh *straight gasp* dari penonton waktu saya membacakan bahwa pemenang nomor satunya “menghadirkan tema yang jarang diolah secara demikian baik dalam puisi indonesia: kehidupan dan identitas homoseksual.” kesian deh waktu itu, masa pra-metoo, woke sebelum waktunya, tapi ga ndakik-ndakik enough buat pake istilah kweer.
makin ironis lagi, walaupun menjadi bagian dari dewan juri yang memenangkan buku ini, sergius mencari bacchus karya norman erikson pasaribu, cmiiw buku puisi mainstream pertama dalam sastra indonesia yang secara terbuka mengusung tema-tema kweer, sekarang gue malah dituduh “homofobik” di sebuah twitwar oleh penyair besar yang sukanya nulis pake huruf kecil tadi. warna apakah virtue signaling? gogon figure.
beberapa minggu lalu gue liburan ke ambon dan bertemu dengan penulis-penulis di sana. penyair, pemikir, theatre people. kita baca-baca puisi, ngobrol soal politik sastra, fafifuwakwekwok irl. gue terkejut mendengar bagaimana mereka punya perspektif yang sangat berbeda tentang “indonesia timur”, the hot issue sekarang ini. mereka tidak perlu saviour dari indonesia barat maupun indonesia tengah karena mereka percaya dengan agency mereka sendiri. mereka skeptis dengan politik identitas yang memecah-belah sastra indonesia menjadi “jawakarta” melawan “timur”. mereka tidak takut dengan jakarta, atau merasa perlu belas kasihannya karena mereka percaya dengan kerja-kerja yang mereka lakukan sendiri tanpa harus flexing di social media. mereka melihat twitwar yang makin sering terjadi gara-gara dikotomi ini dari kacamata perang saudara di ambon. mereka lebih tahu konsekuensi-konsekuensi apa saja yang bisa terjadi jika konflik disamaratasamarasakan dengan abuse. jika playing victim difafifuwasweswoskan jadi perjuangan. seminggu di sana gue jadi berpikir yang terluar, tertinggal, terbelakang itu siapa, mereka atau orang-orang yang sok jadi saviour dari pusat-pusat kekuasaan? jangan-jangan malah mereka yang terdepan, dalam wacana maupun kerja. gogon figure.
in times of universal dusta, telling the truth becomes a revolutionary act. tapi bagaimana kita mengakses kebenaran itu? dengan uu ite dan segala macam alat represi lainnya, kadang kebenaran hanya bisa dibisikkan secara lisan, digogonkan. ini bukan gosip, tapi “whispers network”. seberapa sering kalian merasakan cognitive dissonance saat membaca sesuatu yang kalian tahu adalah DUSTA diparadekan sebagai the truth di media sosialan? lupakan fafifuwasweswos di sana, bookmark aja meme-meme kocheng, nongkrong yuk cyin. di atelir, di pavpu, di gong perdamaian, di megathread X. bukan berarti gogon adalah infallible truth. tapi mendiskreditkan gogon, mendiskreditkan whispers network yang sering jadi satu-satunya alat untuk menyebarkan kebenaran, adalah bentuk kekerasan budaya juga. hidup principia gogonica!
FUCK SASTRA INDONESIA
tahun 2019 saya ikutan london book fair, setelah beberapa bulan sebelumnya ke norwich buat ikutan program mentorship buat penerjemah. sudah lama sebenarnya saya pengen nulis tentang pengalaman waktu itu yang menunjukkan betapa busuknya orang2 yang selama ini pura2 kelihatan begitu murah hati mempromosikan sastra indonesia, betapa para penulisnya juga lebih mementingkan mempromosikan diri sendiri daripada bersolidaritas bersama buat sastra indonesia yang lebih asoy and, as they say nowadays, inklusif, dan juga betapa nol-nya pengetahuan orang asing tentang sastra indonesia and yet betapa privilese yang sering mereka tidak sadari memberi kebebasan buat mereka untuk menjadi so sotoy! i met some very good people when i was there, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang2 dalam kedudukan biasa2 aja, admin people, liaison officers, new friends (fellow translators and writers/poets, termasuk olivia mccannon di bawah) i met randomly and not-so-randomly. those in power, though, give em a miss.
ternyata pengalaman tahun lalu itu cukup nyebelin sehingga membuat saya males mikirin tentang sastra indonesia, bahkan sering saya jadi merasa ga peduli lagi. ngapain juga ribet2 mikirin orang ga ada yang peduli juga lol. tapi saya juga diganggu dengan perasaan bersalah kalau tidak berbagi tentang pengalaman saya karena banyak hal yang dilakukan diam2 oleh those in power tadi, di sini dan di luar indonesia, yang publik, terutama publik sastra indonesia harus tahu.
misalnya soal cerpen yang dipilih untuk diterjemahkan buat acara translation slam yang mengundang saya jadi salah satu penerjemahnya. saya masih males menuliskan kisah lengkapnya jadi satu cerita yang runut jadi ikuti saja email2an di antara saya dan orang2 yang terlibat secara langsung di program ini (ada juga tangan2 tersembunyi yang terlibat, nanti lihat saja sendiri). rangkuman email yang di dalam anne carsonesque lacunae [] udah redacted biar gak melanggar privacy.
bayangin, cerpen tentang orang papua ditulis orang jawa (our true great colonizers) dipilih oleh orang amerika trus dipamerin di london! ini london book fair apa world’s fair? wakakak. imagine the hundreds of years of colonial pain reflected and repeated in that process! gross!
korespondensi di bawah dimulai tanggal 10 januari (acara translation slamnya sendiri tanggal 2 maret) namun cerpen yang harus diterjemahkan baru diterima/diputuskan tanggal 20 februari, 10 hari sebelum acara!
email2an dimulai:
[British Council mengundang ikut Translation Slam di London Book Fair 2019. Acaranya “mengadu” saya dan satu lagi penerjemah dari Inggris, Laura Noszlopy, menerjemahkan karya prosa Indonesia. Terjemahannya dipersiapkan lebih dahulu, bukan freestyling seperti dalam poetry slam.]
—————
Hi R,
Glad we finally get in touch. First of all, let me say thank you very much for sponsoring my LBF visit, I’m sure it’s gonna be very useful and fun!
And thank you for arranging this interesting session, of course I’d be up for translating prose as well.
If you need input on young writers to translate, let me know. I run an open mic night in Jakarta (mostly poetry but also prose) and I’ve met quite a few very promosing up-and-coming authors.
I’m aware I might not actually have a say on who we have to translate (which makes it interesting!) but here’s one short story I really like, just for your enjoyment. The writer’s name is Ratri Ninditya, she’s written another short story (speculative sci-fi!) for Vice Indonesia, writes essays on pop culture, and has a book of prose poems coming out next year. Check it out: https://wp.me/p2nAHE-7J
That’s it for now. Speak to you again soon. Really look forward to do this! ![]()
Best wishes,
Mikael.
—————
[British Council mengabarkan belum ada kepastian karya apa/siapa yang akan diterjemahkan]
—————
[Email British Council tentang masalah-masalah admin dan pemberitahuan bahwa KBN sebagai organising committee kehadiran Indonesia di LBF belum menentukan karya yang akan diterjemahkan]
—————
Hi R,
Thanks for checking in! Was just about to email you about the piece to be translated. ![]()
Contracts & Payment Details – have received the GBPxxxx BC grant and hence have booked my flights and Airbnb. Thank you. I haven’t notified S yet, but I would prefer to get the xxx + xxx pounds from the NCW in cash when I’m in London since I’ll need it for my stay there. Will email her asap.
Speaker Registration – done. Have already received my pass.
Event details – no worries. Will follow instructions on D-day. Re: translation piece, just in case you’re undecided with a prose piece, might you consider some poems? Especially since Olivia MacCannon [the moderator] is a poet and also translates poetry. ![]()
I do like the idea of translating an untranslated piece, and would be even more excited if we can translate someone fresh and young and not one of the 12 writers officially selected by KBN. For diversity’s sake. I do realize it’s out of my hands, but here’s hoping. ![]()
Thanks very much, R. I’ll see you soon!
Best wishes,
Mikael.
—————
[British Council mengabarkan mereka ingin menerjemahkan pengarang muda yang belum pernah diterjemahkan]
—————
Hi again,
Just in case you haven’t decided on the piece to translate for the slam, I know that Indonesia is producing some chapbooks for LBF and that one of them contains short stories from Cyntha Hariadi’s Manifesto Flora, translated by Pam Allen, who happens to be my mentor in the Emerging Translator program. It’s a great book, representative of a new wave of young women writers in the country (though Cyntha has a very distinctive, inimitable droll, ironic style), and the themes—urban women, personal lives of ethnic Chinese minority, motherhood, family, third-culturism and combo of all these—are very now and interesting. If you want, we can translate “Rose”, one of the stories in the book, which is about a nouveau riche woman trying to buy a luxury apartment in a mall booth in Jakarta. The story is both sardonic to the sociological, economic, political milieu of Jakarta and sympathetic towards this tragic figure of Rose, the protagonist in the story, a young woman from a poor family married to an extremely rich man and now trapped in all the rich trimmings of her new life. Rich damsel-in-distress with agency taken away from her by Indonesia’s 1%! It’s a great tragicomedy. It also has puns and Jakarta-specific references that will test the resolve of a translator.
I believe the story has been translated by Pam already, so if you want to do this, we can then actually have three versions of the story to compare for the slam, which would be interesting. Or, we can also do a new story from the book, in which case I would recommend “Apa yang Kau Tunggu, Ny. Liem?” (What Are You Waiting For, Mrs. Liem?—a 98-year-old Chinese matriarch in a long-running family feud with her children, also tragic and funny) or “Dokter Agnes” (Dr. Agnes—a beautiful plastic surgeon with a deformed child, good example of the way the author handles irony. From my description can sound heavy-handed, but in reality, very subtle). There is also “Setengah Perempuan II” (Half a Woman II) that has a series of codeswitching puns which would be hard but exciting to translate as well.
Some info about the book and the author: Manifesto Flora was in the shortlist for the Kusala Sastra Khatulistiwa Award (Indonesia’s Booker I suppose) last year, and the author’s poetry book “Ibu Mendulang Anak Berlari” won third place in the Jakarta Arts Council’s poetry competition in 2015.
That’s about it for now (too long already! :)). Just in case you need some ideas. If you want to ask questions, pick my brain, anything, just give me a buzz.
Thank you, R.
Best wishes,
Mikael.
—————
[Nggak penting]
—————
[British Council mengumumkan cerpen yang akan diterjemahkan, dipilih oleh KBN, “Ikan Kaleng” oleh Eko Triono, yang dideskripsikan sebagai “a new voice in the Indonesian literary scene”.]
—————
[Basa-basi]
—————
[Basa-basi]
—————
hi all! good to get acquainted finally. thanks r!
btw, i’ve noticed that the text given to us could be an earlier, more typos version of the story, not the one published in kompas (the newspaper) eventually? there are discrepancies that result in changes in meaning, eg, “pendaftaran pertama” (first enrolment) in fifth paragraph of the version we have vs. “pendaftar pertama” (first person to enrol) in online versions that seem to have been copied from the paper (though this may also result in more discrepancies). the copy on this one seems to be quite clean: https://lakonhidup.com/2011/05/15/ikan-kaleng/
i would think, if it can be produced, it would be better to use the og kompas version (15 may 2011) as our canonical text.
cheers,
m.
—————
[Acknowledgement of problem with the source text]
—————
[Basa-basi]
—————
[Basa-basi]
—————
[Basa-basi]
—————
[Penerjemah UK, Laura, mengeluh tentang “bahasa Papua” di dalam source text, menjadi ragu apakah mampu menerjemahkan.]
—————
[British Council bilang menunggu pendapat Mikael]
—————
[Laura bilang bahasa Papua kebanyakan dijumpai di dalam dialog di cerpen Eko]
—————
[British Council bilang akan complain ke John (McGlynn)]
—————
[British Council menjelaskan menurut KBN yang ada di dalam cerpen Eko bukan bahasa Papua tapi “a dialect of Indonesian with Papuan influences”]
—————
[Laura khawatir terjemahannya bakal tidak akurat kalau tidak tahu dialek tadi]
—————
hi all, it’s already a bit late here so i’m gonna write something longer tomorrow.
but just quickly, i’ve already done the translation and i’m not sure i’ll have the time to do another one by friday.
that said, i do find the story very problematic, not just because it appropriates papua patois (very badly i might say), but also because it does so in order to paint an orientalistic, condescending and frankly in some parts racist representation of papuans as noble savages. (on the surface it’s trying to be sympathetic to the papuans being dragged into modernity.)
i was gonna say something about this but i know we’re pressed for time and i thought maybe it could be interesting to talk about the travails of translating something as ideologically problematic as this piece.
also another thing, eko is already quite an established writer, published in major newspapers and by major publishers, so i would take the recommendation of him as a new voice with a grain of salt.
so maybe there are two choices, we can still do this piece (i can help provide a simple lexicon for all the papuan/eastern indonesian words), and at the event as i said we can talk about the difficulties of translating the piece. or if it comes to translating a new piece in such a short time, i think i would only do something that is both a good representation of contemporary indonesian literature, something young and fresh, and also something that both L and i feel comfortable of doing. which means that i think both L and i should be consulted about the new piece before we agree to it, if it comes to this (i hope not). it wouldn’t be fair to both of us if kbn or whoever is advising you chooses another piece as problematic as this.
i know this must create extra hassles for you, R, i totally understand and i obviously don’t blame you for the choice of story to translate. i hope we can find a good compromise.
thank you,
mikael.
—————
[British Council bilang ini pertama kalinya mengalami persoalan seperti ini dalam Translation Slam. Menginfokan mereka sempat menolak 2 cerpen pilihan KBN sebelum menerima cerpen Eko.]
—————
[Laura setuju meneruskan menerjemahkan cerpen Eko, dan mengakui adanya “an interesting prospect to discuss the way the writing is steeped in assumptions and politics”]
—————
[Basa-basi]
—————
[British Council memutuskan tetap memakai cerpen Eko, bilang mungkin “the more complicated and ideological issues of appropriation and voice” akan jadi bahan diskusi yang menarik]
—————
thank you very much for this, R. sounds like a very workable solution. agreeing with u that this whole exercise should be less a competition and more working together (translators, together, strong!
) to canvass different possibilities of translating the piece and making transparent the often dark arts of translation. ![]()
i’m more than happy to provide a simple lexicon (see below) and actually think it would be useful to have further discussions in this email thread on other aspects of the story that might help us not just in translating it but also in peeling away its meanings and (problematic) ideological underpinnings (as you outlined above).
one of the things that rankles most about this story is its stereotypical depiction of jayapura, the capital of papua, as a virginal backwater. so mooi indië! said would have a field day with this story! when actually it’s one of the bigger cities in eastern indonesia and as modern as any of them. rather than describing it, i’ll let this video of a pretty famous jayapura hiphop crew take you thru the streets of jayapura:
in the story it was also described how the tribal chief was shocked by seeing canned sardines in the market. jayapura is on the coast and most people still prefer fresh fish but canned sardines are almost as ubiquitous as indomie (instant noodle, our true national food
) in the supermarkets and they have big hypermarkets just like in java. see this woman (an immigrant from java, there’s a lot of them, don’t worry teacher sam, you’re not alone in this heart of darkness!) shop for groceries at a hypermart:
and another thing, modernized teacher/big businessman/civil servant/soldier from the cities being transplanted in a “pastoral village” is actually a pretty common trope in indonesian stories (books, films). critical discourses around it have pointed out that a lot of these stories, including this one, succumb to describing a stereotypical pit fight between between “cities bad, but strong” vs. “kampung/villages good, but weak”, when the reality as you can see in the hip hop video, say, is much more complex than that. here’s an example of a mainstream movie with a plot revolving around a female muslim teacher in hijab being sent to teach in a village in timor, near the indonesian border with east timor. (terrible title, but i actually kinda like this movie, the dialogues are funny, it uses local actors and non-actors, and it mucks around with issues of identity in subtle ways):
and here’s the lexicon. feel free to ask me questions, L.
dah = short for “sudah” = already
dong = short for “dia orang” = used in the story as “dia” = he/him but afaik dong = they/them. he/him should be “de”.
kitorang = short for “kita orang” = we/our/us
ko = “kau” = you
mari = short for “kemari” = (to) here
pu = short for “punya” = have
sa = short for “saya” = i
torang = short for “kita orang” = we/us
trada = “tidak/tidak ada” = no
gotta go now, but later i’ll write more about the (my) difficulties in finding the correct translation strategy for this story (by that i mean, yes, the dia/monologues).
thank you again, R. good luck, L!
cheers,
mikael.
—————
[Laura setuju cerpen Eko banyak memakai “tired tropes”]
—————
[Moderator menjelaskan susunan acara Translation Slam]
—————-
[Laura setuju dengan “Mikael’s critique of the sociopolitical assumptions underpinning the story and the writing style”]
—————
[Admin stuff]
—————
hi all,
ya sure, i can read the og story.
and yes i’m happy with the discussion flow. one thing if possible, is there a way to play 10-15 seconds of one of the videos i sent in this thread? (probably the papua hip hop crew video, with sound). just need a laptop, projector, and some speakers (portables are fine). i won’t have my laptop with me, so will need to use someone else’s.
i think that’s about it from me so far. will write if i think of something else.
cheers,
mikael.
—————
[Admin stuff]
—————
Cool, thanks R!
—————
hi O, here’s my bio:
Mikael Johani is a poet, critic, and translator from Jakarta, Indonesia. His works have been published in Asymptote, The Johannesburg Review of Books, Ajar (Hanoi), Vice Indonesia, Kerja Tangan (Kuala Lumpur), Murmur, Selatan, Popteori, Vita Traductiva (Montréal), What’s Poetry?, Bung!, and others. His poetry book, “We Are Nowhere And It’s Wow”, was published by Post Press in 2017. He’s working on “mongrelz”, his second poetry collection, which will feature mostly codeswitching poems. He’s also working on a translation of Gratiagusti Chananya Rompas’s poetry collection, “Non-Spesifik.” His English version of “one by one the bodies died”, a poem from Non-Spesifik, won an Honourable Mention from the 2018 Hawker Prize for Southeast Asian Poetry. He is one of the winners of the 2018-19 Emerging Translator Mentorships Programme from the UK’s National Centre for Writing. He organizes Paviliun Puisi, a monthly open mic gig in Jakarta.
cheers!
m.
—————
[Basa-basi]
—————
dear O,
thank you!
re: which sections to read, maybe obvious ones would be the chief’s motivational speech
, mostly so we can talk about the difficulty of rendering a patois which in the original (indonesian) was included to further exoticize the papuans (auto-ethnography!), but then again the patois is badly done, bowdlerized (auto-erasure!). what to do?:
“Ko pasti bisa! Ko dilahir atas laut, makan ikan laut, garam laut, ko anak laut! Laut ibu torang. Kitorang cintai, dayungi, dan ciumi angin asin ini. Laut tempat ko makan, laut tempat ko besar nanti, ko paham sa pu nasehat? Ini tujuan ko sekolah di Lat, ko belajar hidup. Bukan cuma omong kosong dan menggambar. Ko dititipi laut Bapa Kitorang.”
“Karn boyz, yu got dis! Yu waz born in da see, yu eet fizz farm da see, yu mek salt farm da see, yu ah boyz of da see! Da see iz ahwer muthah. Wi luv dis salti win, wi rahw tru dis salti win, wi kizza dis salti win. Da see iz wir yu fine yer food, wir yu is grahwn up, yu si dis wizdom ah tellin yu? Dis is da rison yu go tae Lat skhul, yu learnin haw tae live, nat drawin, nat bullsit. Ahwer Fathah, e gave us dis see.”
also maybe some mise-en-scene bits that show the mooi indië-ness of the piece, maybe this?:
Mereka kemudian menjauh, menurun di bukit-bukit kecil bercadas, berkelok, samar dan hilang bersama suara angin dan pemandangan hijau hutan juga beberapa rumah penduduk dan sekali dua waktu minibus berlalu dengan muatan penuh.
The boys made themselves scarce down small rocky hills along a winding dirt road. Their voices grew distant and then disappeared with the wind and into the green of the forest, dotted with houses and, every now and then, a taxi bus stuffed with passengers and their belongings.
or maybe the ending that sort of gives away the real developmentalist ideology of the piece (but in a weird way, the tone is so strange in the original, so deadpan that it sounds like a news report (like it really happens) but the scene/action described is so fantastic (is it gonna turn into life of pi?) that it also sounds like a moral lesson at the end of a fable. and that martial arts-y war cry at the end! what was that?
Sam terbengong. Dan ia akan makin kaget, jika tahu bahwa lima hari mendatang akan ada rombongan kecil dengan perahu berlayar sedang, berbekal peta yang ia berikan sewaktu bertanya, beduyun mengarungi Samudra Hindia, menuju Jawa Timur buat belajar cara mengalengkan ikan agar tidak rugi dalam menangkap demikian banyak ikan, agar anak-anak kelak sejahtera, agar listrik penuh, televisi seperti di kota, mobil, motor…. Tidak ada yang ragu; mereka anak-anak sekolah Lat; terlatih membelah ombak dengan dayung, membaca angin, gemintang, dan asin air laut dan jejak-jejak ikan di antara buih dan gelombang. Jiah! Khiaak!
Sam was aghast. And that was before he knew that five days later a group of children would sail on a small boat, carrying a map that he had given them, traversing the Indian Ocean towards East Java to learn how to can fish so they would not have to catch so many fishes, so that all the children would lead a better life, with electricity that would never cut out, TV sets just like people had in the city, cars, motorbikes…. No doubt about it: these were the Lat school children, experts at beating the waves with their oars, who could read the wind, the stars, the salt brines, and the movement of fish between the sea foam and the waves.
Wa-taaaahhhh! Wooo-waaaaahhh!
maybe. would like to know what bits you find interesting/want to read out/talk about.
thank you O!
best,
mikael.
—————
[Bio Laura:
Dr Laura Noszlopy runs a research and editorial services consultancy. Trained in anthropology and comparative religion, she mostly works in academic research and project management. Her work on cultural politics and ethnography/biography has been published internationally in academic and other books, journals and magazines. Laura is assistant editor of the Taylor & Francis journal Indonesia and the Malay World, and a contributing editor at Inside Indonesia.
She first became besotted with Indonesia as a student and spent many years doing research in Bali. She became involved with the literary scene as an editor of Denpasar-based Latitudes Magazine in 2004 and later worked as a freelance translator, writer and editor for the Lontar Foundation and other Indonesian publishers. For several years, she edited translations in preparation for publication.
She is currently network facilitator for a criminal law reform centre at University of Birmingham and will soon join a University of London research project on wayang, climate change and environmental education.
—————
[Konfirmasi bagian cerpen yang akan dibacakan]
—————
hi,
here’s my translation. re: dialogues/monologues in melayu papua (malay papua, the semi-official name for the papuan patois), i’ve checked with papuan and eastern indonesian friends (some of them writers, including my wife who is from manado in north sulawesi :)) and they’ve confirmed that apart from elementary mistakes in eko’s version (eg, as indicated in my lexicon, dong = he/him instead of the correct they/them), some of the sentence structures are also a bit odd, eg, last sentence in the chief’s monologue to his students, eko has it as “ko dititipi laut bapa kitorang”. apparently (according to people i’ve spoken to) the word “dititipi” (passive of lend, so the sea being “lent” to the kids by “our father” aka god) would not be commonly used in this context. it would more likely be expressed in the active as “bapa kitorang titip laut buat ko” or “kitorang pu bapa titip laut buat ko” (literally “our father = god lends you the sea” (difference in the possessive for “our” father)).
that’s a circuitous way of saying that eko in his story (in my opinion out of carelessness borne out of lack of respect/orientalist entitlement) had created a fantasy melayu papua creole of his own imagination for the papuans’ speech that’s not very realistic and kinda gimmicky.
i thought long and hard about this, and the translation strategy i’ve finally come up with for the lines in melayu papua is to, mimicking the original author but doing it consciously, create a fantasy creole which may (if i do it well enough) reflect in a better way how (strange/unfamiliar) the papuans’ speech might sound to sam the teacher, without claiming that’s how they really speak in real life (in a way, this could be easier for me, since i’m putting english words into their mouth, no pressure to stick to irl accuracy!). (in the original btw, the papuans’ speech still sounds very indonesian the way eko does it that most people, both sam the character and readers of this story, would instantly understand it.)
i’ve mashed up my creole from bits of lkj, trainspotting, urayoán noel’s translation of wingston gonzález’ “no budu please”, and internet forum lingo. my sincere hope is to reclaim at least a little bit of (linguistic and political) agency for the papuans in this story. to me in the original story the papuans have been left voiceless (perhaps not deliberately and more out of carelessness/javanese sense of entitlement that they can speak for the papuans, but still ironic in a story that purports to be sympathetic to their cause) and/or have their voice replaced with an entitled javanese author’s voice (hundreds of years of history on this one).
had i been able to talk to eko for this translation, i would definitely try to challenge him on at least a couple of points and try to get him to rethink aspects of the story. as you know, sometimes a translation can offer a chance of redemption. ![]()
going back re: dia/monologues again, i tried simple codeswitching and it ended up too foreignizing. rendering the lines as straight english with an explainer in the narration (eg, “the chief said in the local dialect”) i think bowdlerized eko’s attempt to foreignize the papuans’ speech (not that this was a great project in the first place, but i feel the translation should indicate that the original had attempted it).
there are of course other things to be talked about the story but i’ll leave that for the event. if i have time, i might bounce some ideas with you both (and L) before it, but if not, see you in the green room!
cheers!
best wishes,
mikael.
—————
[Basa-basi]
—————
[Pertanyaan dari moderator tentang “markers that tell you this story is definitely located present day i.e. circa 2011 (year of publication)?”]
—————
hi O, thanks for this!
re: yr query, indeed the government primary education program can be used as a time marker in this story. if the story is set and/or written in the 70s or 80s, maybe even early 90s, sam’s school would most likely have been called “sd inpres”, which stands for “sekolah dasar instruksi presiden” aka primary school built by order of the president. the president in question is suharto, who was, as you might know, our self-proclaimed “bapak pembangunan” = big daddy of development. sd inpres was a common butt of jokes/target of criticism when it was still around and since this story can be read/has been read as a critique of the indo education system (i read quite a few reviews in this vein), the lack of “inpres” is quite telling, eko is likely to be writing of a time apres-inpres. there are other time markers as well, the mention of micro teaching, quick google search turns up quite a few discussions of the concept from late 2000s, and the fact that in the very few times sam was given a direct speech, he speaks like a modern, urbanised indonesian. also, even though he is from jawa, he wasn’t given a javanese-ish speech pattern. (why not i hear u say hehehe.) i think tho that the ambiguity in the time setting is part of the auto-erasuring tendencies of this type of stories (seriously there is a lot of stories like this), which often fix the backward, primitive societies (as seen from the vantage point of the javanese) in a sort of “time immemorial” from which they will never get out. the lack of details is also a function of this genre of story, something we call “sastra koran” = newspaper literature, because they’re published on the back pages of the sunday paper. hence, limited space, so the stories have to be short and authors sacrifice details (apart from lack of time markers, where in jawa is eko from?) for emphasis on “moral of the story” (which is why this story, like many others, can read like a simplistic fable). the weird, abrupt ending can also be explained by this lack of space, eko probably simply ran out of it! have i gone off on another tangent? of course i have! xD but seriously, in sastra koran, instead of giving vague clues, authors are often forced to be obvious as regards time-setting (or other details), so if eko intended this to be set in, say, 1973 (the beginning of sd inpres program) he would’ve just said so.
that’s my 2 rupiahs.
m.
—————
[Basa-basi]
—————
apologies, sam appears to be from, or at least went to uni in jogja, which is quintessential jawa, also where the author is from/based in.
m.
—————
found another time marker!
can’t believe i missed it, “pesan pendek” in first para section 3 is the (formal) indonesian word for SMS (full version “layanan pesan pendek”, literal translation of SMS). i did translate it as “text messages” but totally forgot about it. this should place the story at the very latest to very late 90s. i remember getting my first mobile phone in indonesia in 1999.![]()
m.
—————
[Laura merevisi beberapa bagian dari terjemahannya]
—————
[Admin stuff]
—————
[Basa-basi]
—————
[Tukeran nomor telpon]
—————
these are my numbers: whatsapp number is +628xxxxxxxxx and my uk number will be 07xxxxxxxxx.
see ya guys soon! m.
—————
[Tukeran nomor telpon]
—————
[Follow up email dari British Council tentang “choice of words (mine) for the title, ‘Fish in a Can’”]
—————
hi h!
this is what i wrote in my notes:
there are bigger problems in papua than a can of sardines. a good story about the place should rather open a can of worms, re: indonesian genocide of papuans, massive environmental damage from more than 50 years of the biggest gold and copper mine in the world, freeport (us-owned), boring a gigantic hole in the heart of papua (google earth it), repeatedly crushed papua independence movement (by collusion of us and indonesian interests). in the end, this story functions like a smoke screen, a RED HERRING to the real problems of papua, presenting a slightly modified mooi indie pic of the place and its people to put wool over everyone’s eyes so the exploitation can go on and on.
so in the talk iirc i said that i wanted to put the emphasis in the title on the fish (small fry!) rather than the canning of it.
hope that helps!
best,
mikael.
Indonesia Market Focus Indonesian Translation Slam: Mikael Johani, Laura Noszlopy, Olivia MacCannon – Literary Translation Centre Tuesday 2 March 2019
Cerpen asli:
IKAN KALENG
Eko Triono
/1/
Sam tiga hari di Jayapura; dia guru ikatan dinas dari Jawa. Dan tak mengira, saat pembukaan penerimaan siswa baru buat SD Batu Tua 1 yang terletak sejurus aspal hitam dengan taksi (sebenarnya minibus), ada yang menggelikan sekaligus, mungkin, menyadarkannya diam-diam. Ia tersenyum mengingat ini.
Ketika seorang lelaki bertubuh besar, dengan tubuh legam dan rambut bergelung seperti ujung-ujung pakis lembut teratur menenteng dua anak lelakinya, sambil bertanya, “Ko pu ilmu buat ajar torang (kami) pu anak pandai melaut? Torang trada pu waktu. Ini anak lagi semua nakal. Sa pusing”
Sam memahami penggal dua penggal. Dia, seperti yang diajarkan saat micro teaching, mulai mengulai senyum lalu berkata, “Bapak yang baik, kurikulum untuk pendidikan dasar itu keterampilan dasar, matematika, bahasa indonesia, olahraga dan beberapa kerajinan…”
“Ah, omong ko sama dengan dong (dia) di bukit atas! Ayo pulang!”
Kaget. Sam tersentak, belum lagi dia selesai. Dan ini tak pernah diajarkan di pengajaran mikro. Juga di buku diktum bab penerimaan siswa baru. Dia pucat; diraihnya segelas air putih.
Pendaftaran pertama memantik rasa sabar dan sesuatu yang asing dalam dirinya. Ia bersabar menunggu detik berikutnya dari lepas pukul sembilan. Ia mengelap lagi wajahnya. Di meja pendaftaran samping, kosong, Tati belum datang. Cuma ada Markus, Waenuri dan Tirto—teman sekelasnya yang sedang betugas masing-masing di ruang lain; mulai dari siap berkas, mencatat kebutuhan anggaran dan menyiapkan papan tulis. Bismillah, ia mengharap, tepat ketika sebarisan orang-orang legam bertelanjang kaki menjejaki halaman yang setengah becek bertanah merah, dilatari sisa-sisa alat berat dan bekas pengadukan material bangunan itu.
Dan syukurlah, meski dengan penjelasan yang tak kalah berat; setidaknya, tak ada yang seperti orang pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran , siapa sebenarnya orang itu. Ia mencoba mencari tahu, hasilnya, ternyata lelaki pertama tadi adalah kepala suku Lat, berada di sekitar pantai sebelah kanan, menembus seratusan rengkuh dayung untuk sampai di kampungnya yang ada di laut. Kira-kira begitu kata orang-orang yang juga ada berasal dari sana.
“Trada perlu risau, dong itu memang keras kepala,” kata di penjelas itu sambil bisik bisik takut ada yang melaporkan omongannya.
/2/
Hari tadi tercatat dua puluh satu siswa terdaftar jadi angkatan baru sekaligus kelas baru buat sekolah itu. Usia mereka beragam. Hari berjalan, minggu silih berganti dan bulan menumpang tindih. Tepat memasuki bulan Agustus, keganjilan itu muncul kembali. Meski sebelumnya pernah terjadi, tapi kali ini semakin sering.
Dua anak itu sering muncul di halaman. Mereka nampak memandangi sesuatu yang mungkin aneh baginya. Teman-teman yang lain menghadapi sebuah tiang dengan bendera dua warna. Berbaris lalu menyanyi-nyanyi. Dari sini Sam merasa iba. Ia dekati. Dan tahu betul mereka itu yang tempo hari dibawa oleh kepala suku Lat.
“Kenapa kalian, ingin seperti mereka?”
“He-eh…” yang satu mengangguk. Ia menatap teman-temannya yang menyanyi-nyayi bersama itu dari sana terbalas, dua tiga melambai ke mereka yang ada di dekat jalan depan sekolah itu.
“Apa ko ini Do! Trada boleh!! Bapa ade bisa marah”
Mereka kemudian menjauh, menurun di bukit-bukit kecil bercadas, berkelok, samar dan hilang bersama suara angin dan pemandangan hijau hutan juga beberapa rumah penduduk dan sekali dua waktu minibus berlalu dengan muatan penuh.
Sam memutuskan sore nanti ia akan mengunjungi rumah anak-anak itu dan memberikan semacam penjelasan.
Dengan dibantu salah seorang wali murid, sampailah dia di rumah lelaki itu. Sam kemudian menyampaikan maksud dan sejumlah penjelasan terutama perihal anak mereka yang sering datang ke sekolah.
“Ko trada perlu ajari torang. Torang dah pu sekolah sendiri. Lihat mari! Justru murid ko yang mari”
Sam, dengan setengah tak percaya mengikuti lelaki itu. Turun dari rumah besar, lalu menuju perahu di antara barisan rumah-rumah, aroma laut menebar, hidungnya disesaki asin dan matanya dipenuhi tatapan aneh dari penduduk sekitar. Dia menuju sebuah rumah yang sama di atas laut dan di sana nampak sudah dua anak lelaki yang menyambanginya siang tadi. Dan, beberapa muridnya yang ia kira sakit, ternyata mereka ada di sana.
Di tempat ini terlihat: barusan dayang-dayung tergantung, tombak bermata tajam, sebuah perahu di tengah ruangan, jala, pisau, sebuah titik-titik dengan cangkang karang yang kemudian Sam tau itu rasi bintang di langit. Lelaki Lat menjelaskan lagi dengan bahasa alihkode semi kacau, bahwa disinilah seklah yang ia dirikan. Sekolah yang diberinama Lat: Sesuai nama suku.
Sebenarnya lelaki tadi tidaklah bodoh terlalu. Ayahnya dulu pernah menyekolahkannya ke “sekolah pemerintah” meski hanya dikelas satu—demikian mereka menyebutnya, namun suatu hal mengganjal.
Ketika kakaknya yang sudah kelas enam di SD Jayapura 2 tak bisa apa-apa ketika harus nenemani kakak mereka yang lebih tua pergi melaut menggantikan ayahnya yang sakit keras. Dia, kakaknya yang SD tersebut, hanya bisa omong dan menyanyi-nyayi, lalu pamer angka-angka tak jelas dalam kertas, tapi tak becus membaca rasi bintang, arah angin, membelah ombak, mengarah tombak, apa lagi mencecap asin air dan jernih gelombang untuk menerka di mana ikan-ikan berkumpul. Dari situ ia benci sekolah—ia benci menghabiskan waktu dengan menyayi dan menggambar tidak jelas. Dan, pelak, ketika ada pembukaan sekolah baru ia selalu mencari sekolah yang mengajarkan anaknya melaut, membelah ombak, mendayung, membaca rasi bintang, menombak ikan paus dan seterusnya. Dan itu tak pernah ada, atau mungkin tak akan pernah ada!
Sam terdiam. Ia paku bagi kelana: semua diktum terkulum gelombang di kaki pancang: berpias-pias.
Dan juga sorenya, sam melihat bahwa cahaya senja senantiasa keemasan sebelum muram menjadi gelap, lelaki itu mengajar dua anaknya dan tiga dari muridnya yang belakangan absen. Dia mengajari cara memegang dayung, menggerakkannya kanan kiri di atas perahu di tengah kelas itu. Dan, tak sekalipun lelaki itu membentak atau bahkan memukul bila salah. Dia selalu berkata,
“Ko pasti bisa! Ko dilahir atas laut, makan ikan laut, garam laut, ko anak laut! Laut ibu torang. Kitorang cintai dayungi dan ciumi angin asin ini. Laut tempat ko makan, laut tempat ko besar nanti, ko paham sa pu nasehat? Ini tujuan ko sekolah di Lat, ko belajar hidup bukan cuma omong kosong menggambar. Ko dititipi laut bapa kitorang”
/3/
Peristiwa dua tahun silam terngiang makin dalam, di meja kelas ketika kini dia mengadapi pesan pendek berisi keluh dari sejumlah kawan di Jogja yang belum juga mendapat kerja. Dia menarik nafas. Untung dia dapat ikatan dinas; meski jauh seperti ini, terpisah dari keluarga.
Dia sedang mengabsen, saat tiba-tiba lelaki kepala suku Lat itu datang mengetuk pintu kelas. Dia izin sebentar pada murid-muridnya yang kini tinggal setengah—sisanya “sekolah” di Lat: memilih belajar membelah ombak dengan benar, membaca rasi bintang dengan sket cangkang dan seterusnya.
“Maaf ada yang bisa sayang bantu Pak?” Sam bertanya, dalam hati ia mengira lelaki itu, yang kini membawa kedua anaknya beserta anak lain, ingin menyekolahkan di tahun ajaran baru yang sebentar lagi tiba.
“Ko orang Jawa, bisa ajar torang buat ini?”
Sam mundur sedikit. Ia kaget. Lelaki itu menunjukan ikan kalengan bermerek sarden.
Usut punya usut, setelah bercakap kemudian, sekolah Lat mengalami masalah. Murid-muridnya bertambah banyak, orang-orang Batu Tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di sana, yang dalam waktu tak lebih dari setahun dapat membantu menangkap ikan. Yang mengajar juga dari orang mereka sendiri yang berpengalaman. Nah dari sana penghasilan menangkap ikan naik deras. Ketika kepala suku Lat itu pergi ke Jayapura untuk memasarkan ikan, ia melihat ikan kaleng yang ternyata harga sebuahnya setara dengan harga satu kilogram ikan mentah. Dia terkejut. Padahal, menurut si kepala suku Lat itu satu kaleng hanya berisi dua tiga potong. Dari ini dia ingin menemui sekolah yang bisa mengajarkan “murid”-nya membuat ikan kaleng.
Dan sekali lagi Sam menggeleng. Ia menjelaskan kembali tentang standar pengajaran di sekolah, kurikulum, evaluasi, ijasah, menghitung, menghafal nama menteri, Pancasila, Undang-Undang Dasar…
“Ah baiklah. Ko tau tempat buat ini?” kepala suku menegas. Matanya resah. Anak-anak di belakangnya tengah membaur bersama anak-anak dalam kelas. Sam membaca pabrik produksinya yang ternyata itu ada di Banyuwangi Jawa Timur.
“Sa mau ke sana! Ko kasih tau..”
Sam terbengong. Dan ia akan makin kaget, jika tahu bahwa lima hari mendatang akan ada rombongan kecil dengan perahu berlayar sedang, berbekal peta yang ia berikan sewaktu bertanya beduyun megarungi Samudra Hindia menuju Jawa Timur buat belajar cara mengalengkan ikan agar tidak rugi dalam menangkap demikian banyak ikan, agar anak-anak kelak sejahtera, agar listrik penuh, televisi seperti kota, mobil, motor… Tidak ada yang ragu; mereka anak-anak sekolah Lat; yang, membaca angin, gemintang dan asin air laut dan jejak-jejak ikan diantara buih dan gelombang. Jiah! Khiaaak!
2010
Terjemahan:
FISH IN A CAN
Eko Triono translated by Mikael Johani
/1/
A peculiar thing happened to Sam in Jayapura, three days after he arrived in town as a teacher on a government contract from Java. He never expected that on his first day at Old Rock Primary School No. 1, a taxi bus ride away from his new home on a stretch of black bitumen, he would encounter something so shocking that only much later turned into a revelation to him. He smiled as he remembered the moment.
A towering man with dark skin and dreadlocked hair that looked like the rolled fronds of a fern, came to the school dragging two boys with him. He asked Sam, “Yu hav skillz tae teech mah kidz haw tae fizz? Ah gat no time. Dis boyz dem aktin up. Dey giv mah headakhe.”
Sam understood only half the words. He remembered what he was taught in his micro teaching class, let out a smile and said, “My good man, the curriculum for our primary school teaches basic skills, and that means mathematics, Indonesian, sports and some craft…”
“Akkkh, yu say same same stuff as dem meng on hill top! Karn, boyz, lezza git awt af hiyah!” Sam was petrified, he hadn’t even finished his sentence. They did not teach this in the micro teaching class, he thought. Or in the student enrolment guide. His face had lost some colour. He quickly downed a glass of water.
The man had tested Sam’s patience and also triggered a strange feeling in him. He steeled himself as he watched the clock ticked to nine o’clock. He wiped his face clean. The enrolment table next to him was empty. Tati was late. The other teachers, Markus, Waenuri and Tirto, were in the other classrooms. Sam prepared documents, jotted down the school budget, and cleaned the blackboard.
Bismillah, he said to himself, just as a group of dark- skinned people in barefoot stepped into the red mud of the school ground. They walked right past a mess of heavy equipment and half-poured concrete.
Sam thanked his lucky stars that even though he was left with a lot more explaining to do, he met no one else as incorrigible as that first man he saw. Sam ploughed on with his tasks until Tati came to help. But he was curious to find out who the man was. He asked around, and someone told him the imposing man was the chief of the Lat tribe. Another man who claimed he was also Lat told Sam: to go to the chief’s place, you need to go to the beach on the right, and then hop on a boat. Our tribe lives on an island in the middle of the sea, and it takes one hundred strokes of the oars to get there from the beach.
“Worry nat meng, e jez a hard head,” said the man in whispers, as if he was afraid someone was going to catch his words.
/2/
A total of 21 new students enrolled in the school that day—Old Rock Primary School No. 1’s first. They were all of different ages. Days, weeks, months passed and in August, another peculiar thing happened. Sam had seen it all before, but now it was happening more and more.
Two familiar-looking boys started appearing in the school yard. One day, they were staring dumbstruck at the new students standing in neat files in front of a flag pole. A two-coloured flag flew at the top of its mast. The students marched and sang in front of the flag. Sam felt sorry for the two boys and walked over to them. He could see they were the boys the Lat chief dragged to the school on enrolment day.
“What’s up boys, do you want to be like them?”
“Uh huh…,” one of them nodded. He was staring at the singing students, and was getting some response.
Two, and then three of the students waved their hand at the boys, who were standing on the road in front of the school.
“Wot yu doin! No meng! Dont do it! Fathah e be mahd at us!”
The boys made themselves scarce down small rocky hills along a winding dirt road. Their voices grew distant and then disappeared with the wind and into the green of the forest, dotted with houses and, every now and then, a taxi bus stuffed with passengers and their belongings. Sam decided he would visit the boys and their parents that afternoon and explain everything to them.
With one of his students’ parents as a guide, Sam reached the home of the Lat chief. He told him that he had seen his boys come to his school and that he would like to explain some things to him.
“Yu hav nat skillz tae teech uz. We hav ahwer ahn skhul. Karn, look. Yu taek yer students hiyah!”
Sam could not believe his ears, but he followed the chief down from the big house to a boat nestled between two rows of houses. The smell of the sea was all around him, his nose was filled with salty brine and he could see people were staring at him with distrustful eyes. He climbed into a house perched on stilts above the water and he found the two boys there. There were also a few students of his, who he had thought were sick since they had been missing from class.
Sam also saw these in the house: oars hung on the wall, sharp-tipped spears, a wooden boat installed in the middle of a room, fishing nets, knives, and tiny dots arranged in patterns on the floor, made up of seashells. Later on Sam found out the dots represented star constellations. The Lat chief explained everything to him, in semi-garbled codeswitch: this was the school that he had built himself. The school was called Lat, the same name as the tribe’s.
The man was not stupid. His father had sent him to a “government school”—that was what they called it—even though he only lasted until first grade. One thing had really irked him while he was there:
His older brother had gone to the Jayapura Primary School No. 2 and never missed a class until Year 6, but he was left totally helpless when their father had fallen ill, and he and his big brother had to sail on their own to catch fish. His brother, this primary school graduate, was all talk—he even sang songs on the boat—and kept showing off a bunch of numbers that he had written on a piece of paper. But he had no idea how to read the constellations, the directions of the wind, how to beat the waves, aim the spears, let alone taste the crystal clear water to work out where shoals of fish were to be found. From that moment on, the Lat chief hated school. He hated wasting his time just singing and drawing. Since then, whenever there was a new school being opened, he would visit it to see if the school would teach his children how to fish, beat waves, row a boat, read star constellations, spear a whale, and so on. And there was never a school like that, and maybe, he thought, it was impossible to find one!
Sam was silenced. He was dumbfounded. In his head, all the textbooks he had ever read were being monstered by the waves hitting the stilts, destroying his own reflection in the water.
And later that afternoon, in the golden sunset just before it got dark, Sam watched as the Lat chief taught his two boys and three of his own students who had been missing from their class how to hold an oar, how to manoeuvre it left and right while sitting in the stationary boat in the middle of their classroom. And not once did the chief snap at the boys or hit them. Whenever they made a mistake, he would say:
“Karn boyz, yu got dis! Yu waz born in da see, yu eet fizz farm da see, yu mek salt farm da see, yu ah boyz of da see! Da see iz ahwer muthah. Wi luv dis salti win, wi rahw tru dis salti win, wi kizza dis salti win. Da see iz wir yu fine yer food, wir yu is grahwn up, yu si dis wizdom ah tellin yu? Dis is da rison yu go tae Lat skhul, yu learnin haw tae live, nat drawin, nat bullsit. Ahwer Fathah, e gave us dis see.”
/3/
Sam still remembered vividly what happened two years ago as he, sitting behind his teacher’s desk in his classroom, browsed through text messages filled with complaints from his college friends in Jogja who had been unable to find work. He breathed a sigh of relief. Lucky he found this teaching job, even this far away, thousands of kilometres from his family.
He was calling his students’ names for the roll call, when the Lat chief knocked on the door. Sam excused himself from his half-empty classroom; half of his students had quit Old Rock to go to the Lat school. They preferred to learn how to beat waves, read constellations with help from seashell patterns, and so on.
“Is there anything I can help you with?” Sam asked the chief. He had thought maybe the man, with his two boys and some other boys in tow, had wanted to enrol the children in the new school year.
“Yu ah farm Java, yu know how tae mek dis? Teech us.”
Sam retreated a few steps. He was taken aback. The chief thrusted a can of sardines in his face.
The chief then told him that problem was brewing at the Lat school. He had to accept many more students now, since parents at Old Rock now prefer to send their children to Lat. After a year with the chief, the children were ready to help their parents catch fish in the open sea. The teachers were all Lat people, and they were experienced fishermen. They were earning more money from fishing. One day the Lat chief went to Jayapura to sell fish, and he found canned fish that cost as much as one kilogram of raw fish. He was flabbergasted. He couldn’t believe each can only contained two or three pieces of fish. So now he wanted to find a school who could teach his students how to make canned fish.
Sam, not for the first time, shook his head. He explained to him, again, the standard teaching method in a government primary school, the curriculum, the exam, the degree, arithmetic, memorizing ministers’ names, Pancasila, the Constitution…
“Okok. Yu know wir dey mek dis?” the chief cut short Sam’s explanation. His eyes looked worried. His boys were playing with the students behind him. Sam read the label on the can and it said the factory was located in Banyuwangi in East Java.
“Ah want tae go tae dem place! Yu taek mee…”
Sam was aghast. And that was before he knew that five days later a group of children would sail on a small boat, carrying a map that he had given them, traversing the Indian Ocean towards East Java to learn how to can fish so they would not have to catch so many fishes, so that all the children would lead a better life, with electricity that would never cut out, TV sets just like people had in the city, cars, motorbikes…. No doubt about it: these were the Lat school children, experts at beating the waves with their oars, who could read the wind, the stars, the salt brines, and the movement of fish between the sea foam and the waves.
Wa-taaaahhhh! Wooo-waaaaahhh!
Canned Fish Eko Triono Translated by Laura Noszlopy
SAM had been just three days in Jayapura; he was a government contract teacher from Java. And he’d been surprised to see the group that arrived on the black asphalt in a taxi (or a minibus, to be exact) as student enrollment opened at Batu Tua 1 Elementary School. They were messing around yet trying to keep a low profile. The memory made him smile.
A dark, burly man, with neatly coiled hair like fern tips and his two sons in tow, had a query: “Can you teach these kids to go to sea? We don’t have the time. These kids are all naughty. They’re stressing me out.”
Sam put two and two together. Following what he’d learned during teacher training, he smiled and said, “Dear sir, the curriculum for elementary education includes basic skills, mathematics, language, physical education, and a range of crafts…”
“Ah, you sound just like him up the hill! Right; let’s head home!”
Taken aback, Sam caught his breath; he hadn’t even finished speaking. And this sort of thing hadn’t been taught in teacher training. And it wasn’t in the chapter on enrolling new students. He paled; and reached for a glass of water.
This first encounter had ignited a strange sense of calm within him. He patiently watched the seconds tick past nine o’clock. He wiped his face again. The neighbouring enrollment desk was empty; Tati hadn’t arrived yet. There was only Markus, Waenuri and Tirto – his former classmates all getting on with stuff in another room. They were readying their files, drafting their budgets, and preparing the blackboards.
Bismillah, he prayed – just as a line of black, bare-footed people traipsed across the school yard, which was half covered in red mud and littered with the remnants of heavy construction equipment and discarded building materials.
Thankfully, with some relatively straightforward explanation, at least none of these others were like the first. And the enrollment proceeded like this until Tati arrived to help. But he was still curious about that man. He asked around and it turned out that the man was the headman of the local Lat tribe, whose village was near the beach to the right of the school and could only be reached by paddling out into the sea. That’s more or less how the locals explained it.
“Don’t worry about it; he’s a dogged one,” whispered his informant in tones hushed lest he be reported for gossip.
/2/
Earlier that day, twenty-one new students were enrolled, making a new class for the school. The new students were all of an age. The days passed, along with the interchangable weeks and blur of months. And then, the start of August marked another strange occurance. Although it had happened once before, now it happened with increasing frequency.
The two boys would often appear in the school yard. They seemed to find what they saw alien. Other friends could see a pole flying a two-tone flag. They could see lines of children, singing. From that moment, Sam’s heart softened. He approached them. And then he knew for sure, these were the children that the headman of Lat had brought in.
“What’s up, you two? Do you want to join the others?”
“He-eh…” One of them was annoyed. He could see his friends singing together and they could see him; two or three of the other children waved across to them as they stood on the road at the front of the school.
“What are you saying, Do! We can’t! Father might be angry.”
Then they went away, meandering down the little hills, swaying along until they dimmed and disappeared into the sound of the wind and the vista of green forest, with its smattering of dwellings and the occassional tightly packed minibus passing through.
Sam decided that he would visit the boys’ house later that afternoon, and give them some kind of explanation.
With the help of one the student helpers, he eventually reached the headman’s house. Sam then explained the situation at some length, primarily the matter of their children turning up so often at the school.
“You don’t need to lecture us. We’ve got our own school. Look around! It’s your students that should be here.”
Sam, hardly believing it, followed the man. He climbed down from the big house and they manoeuvred the boat between the rows of houses. The scent of the ocean filled the air and his nostrils stung with salt as he surveyed the local inhabitants who stared unnervingly back at him. They approached another house atop the water and there he saw the two boys from earlier that day. And it transpired that several of his students who he’d assumed were off sick were there too.
In this place hung rows of paddles and sharply-barbed spears; part of a boat lay in the middle of the room, along with nets, knives and intricately pock-marked coral shells, which Sam later learned mapped the starry constellations of the night-sky. The Lat headman explained, in his broken Indonesian, that this was the school he had built. It was called Lat School, named after the tribe.
To be frank, the man wasn’t all that ignorant. His father had once sent him to the government school though he only completed the first year before something got in the way.
When his middle brother, who was already in Year 6 at Jayapura 2 Elementary School, wasn’t good for much when he was sent out to sea with their eldest brother to take over from their father who was seriously ill. All this middle brother could do was chat, sing songs and show off the barely legible marks he’d made in his books. He couldn’t read the stars or the direction of the wind, he didn’t know how to ride the waves or throw a spear, let alone taste the salt water or read the translucence of the waves to ascertain where the fish were shoaling. From then on he hated school – he hated wasting time with the songs and the wonky drawings. And whenever a new school opened, he awkwardly sought out a place that would teach his sons the ways of the sea – about the waves, and how to row, read the stars and hunt whales, and all the rest of it. And nothing like that existed, and perhaps it never would.
Sam was silent. He was like a spike to a wanderer: all the formal rules swelled and choked like a peg leg: it was just fancy dress.
And that evening, under the light of the setting sun, which glowed golden before receding into darkness, Sam watched as the headman taught his two boys, along with three of the pupils he’d marked absent that morning. He watched as they learned how to hold the paddles and to pull them left and right as they straddled the boat in the middle of the classroom. More than once, the headman snapped or smacked the children if they made a mistake. He said:
“You can do this. You were born on the sea, you eat the fish of the sea and the salt of the sea – you’re children of the sea! The sea is our mother. We love, embrace and kiss this briny wind. The sea is where you eat, where you’ll grow big. Do you understand what I’m telling you? This is why you’re schooled at Lat; you’re learning to live. Not just chatting rubbish and drawing. Our Father has entrusted you to the sea.”
/3/
The events of two years ago felt more immediate than ever as he sat at his desk, reading a short note from some old friends in Jogja who were still looking work. He inhaled. He was fortunate to get a government contract, even one this remote, far from his family.
He was present when the headman of Lat suddenly knocked again on the classroom door. He excused himself from his remaining students – only half of the orginal class were here; the rest were being ‘educated’ in Lat, having chosen instead to learn how to ride the waves and navigate from constellations etched into coral shells.
“Sorry, how can I help you, sir?” asked Sam. In his heart, he supposed that the headman of Lat, who had brought along both his sons and a number of other children, wanted the children to enroll for the start of the new school year.
“You’re Javanese. Can you teach us about this?”
Sam took a small step back. He was startled. The headman was gesturing towards a can of sardines.
After some detailed examination and discussion, it turned out that the school at Lat was facing some difficulties. The number of students had risen sharply. The people of Batu Tua prefered to send their children to Lat, where in under a year they’d be fit to help out with the fish haul. The teachers were also local people, the most experienced among them. And so the community’s fishing success improved massively. When the headman of Lat went to sell their catch in Jayapura market, he noticed that the price of canned fish was on a par with a kilo of fresh. He was shocked, especially since each can contained only two or three fish. That was when he decided he wanted to find a school that could teach its students how to can fish.
Sam shook his head. He explained once more about the teaching standards in the school, about the curriculum, evaluations, qualifications, and about the basic skills of counting, language, memorising the names of government ministers, Pancasila,* laws and regulations…
“Ah, fine” said the headman of Lat. “Do you know a place that can?” His eyes looked vexed. The children behind him were starting to mingle with the students in the class. Sam read from the label that the can was produced in a factory in Bangiwangi, East Java.
“I want to go there. You tell me how…”
Sam was stunned. And he’d have been even more shocked if he’d known that five days later a small group would set sail in smallish sail boats across the Indian Ocean, guided by a map that he had provided, towards East Java – to learn how to can fish. They made this journey so that their children would prosper, with full electricity, and televisions like they have in the city, cars, motorbikes… Nobody had any doubts; these were the students of Lat School, trained to paddle through the waves, to read the wind, the stars and the brine, and to track the shoals between the foam and the waves. Jiah! Khiaak!
*Pancasila is Indonesia’s foundational philosophy. The five national principles are: 1) belief in the One and Only God; 2) just and civilised humanity; 3) a unified Indonesia; 4) Democracy; and 5) social justice for all Indonesians.
*rekaman audio lengkap sesi “Translation Slam” tersebut bisa didengarkan di channel YouTube saya.
*featured image foto oleh @cantsaynotohope, diambil di sebuah reruntuhan bangunan di daerah Pantai Indah Kapuk, Jawakarta Utara.
THE JEBLOGS: IS THIS IT?
Pas di hari ABRI 5 Oktober kemarin, saya membaca komentar Felix Dass, penulis dan promotor musik yang sudah malang-melintang di skena sejak pertengahan tahun 2000-an tentang band The Jeblogs di X: “Generasi baru telah tiba. The best thing in Synchronize Festival 2024: The Kick x The Jeblogs. Selesai. No debat.” Post ini disertai video penampilan kedua band tersebut di festival itu — seru, mengingatkan tentang gig-gig screamo di bar BB’s di awal tahun 2000-an di mana band dan penonton menyatu, panggung lenyap, yang tersisa hanyalah euphoria dan histeria massa. Seorang fan membelai-belai rambut drummernya. Ekstatik. Orgasmik.
Saya terpancing untuk bertanya, bukan untuk pertama kali, kenapa klaim Felix di atas tidak disertai argumen, analisa, atau bukti, sekecil apapun. Hanya asersi yang enggan dipertanyakan kebenarannya. “No debat”. Elon boleh bilang X adalah “alun-alun dunia”, orang boleh pidato di atas soap box merk apa saja, namun “no debat” bagi saya langsung menjelma jadi taplak merah yang dilambai-lambaikan di depan hidung banteng di plaza de toros.
Alasan saya bertanya, selain beneran pengen tahu The Jeblogs seperti apa dari seorang penulis musik senior yang saya asumsikan punya banyak hal untuk diceritakan tentang band yang dia anggap sebagai “generasi baru”, juga karena dari pengamatan saya penulisan musik di Indonesia sedang diwabahi banyak penulis yang terlalu cinta pada kata sifat, pujian lebay, atau liner notes ala advertorial yang nggak ada isinya (halo Pophariini), dan atau sok gonzo mengarang-ngarang frase jurnalisme sastrawi ala-ala yang hanya ngomongin dirinya sendiri daripada musik yang dibahasnya (halo Rio Tantomo). Dari karya-karya jurnalisme musik yang sudah berbentuk buku sepuluh tahun terakhir mungkin hanya Bandung Pop Darlings Irfan Popish yang ditulis dengan SPOK dan 5W1H prima serta riset independen mendalam (termasuk wawancara langsung dengan narsum primer, eg, anak dan penggerak skena, dan pengarsipan sumber vernakular, eg, tiket gig, poster gig, review zine, etc) sehingga, mengutip moto majalah Tempo dulu, baik narasi maupun informasinya jadi bener-bener enak dibaca dan perlu.
Jawaban Felix:
Kemudian juga:
Oke kalau begitu, yang mau melanjutkan menikmati masturbasi sama-sama antara @mekitron x @felixdass langsung saja ke X.
Tapi sebelum mulai membahas album debut (sejauh saya tahu) The Jeblogs yang berjudul Sambutlah, baik saya sebutkan komentar nyamber dari netijen yang bermurah hati memberi saya jalan masuk untuk membahas band ini:
Sejak keterangan singkat tentang The Jeblogs ini dipost di X, beberapa hari kemudian ternyata berkembang diskursus di antara anak-anak skena musik yang mendebatkan (Yes debat) tentang ekosistem gig dan rilisan di Jawa Tengah dibandingkan dengan di Jawa Timur. Gembira melihat wacana berkembang biak sendiri dimulai oleh sekedar kemurahan hati untuk berbagi pengetahuan.
Sementara saya dari X-war singkat vs. Felix langsung menuju ke YouTube Music (karena kualitas suara >>> Spotify) untuk mendengarkan Sambutlah. Pertama kali dengar dari awal sampai akhir, di kuping saya album ini terdengar tidak baru, justru dengan setia meneruskan tradisi garage rock, indie rock, post punk (revival) dari era awal 2000-an: The Upstairs via Morfem, The Strokes (perhatikan kemiripan sampul Mapplethorpe ala-ala di album Is This It vs sampul Sambutlah yang sama monokromatiknya) via The Brandals, bahkan Netral — suara gitar rhythm yang fuzzy, gitar solo yang melankolis, dan lirik yang diam-diam puitis (dalam hal ini juga meneruskan tradisi vokalis-penyair Jimi Multhazam, Eka Annash, Edo Wallad The Safari, bahkan Bagus Netral yang juga lowkey Afrizalian). Bahkan setelah habis mendengarkan Sambutlah, algo YouTube Music (yang menurut saya lebih jago dalam merekomendasikan musik-musik yang bunyinya mirip dibanding Spotify), otomatis melanjutkan dengan sebuah lagu Morfem:
Kesan pertama, lagu-lagu dalam album debut The Jeblogs ini, terutama title track Sambutlah yang paling banyak plays-nya, kebanyakan mempunyai chorus anthemic yang pasti akan asyik dinyanyikan bersama di GBK. Dan salah satu chorus anthemic itu ternyata adalah baris “Generasi baru telah tiba” yang dikutip di tweet Felix tadi. Entah apakah Felix mengutipnya secara literal, atau sebagai sebuah komentar tentang lagu ini sendiri, sebuah anthem motivasional tentang telah tibanya sebuah generasi baru, bisa saja bukan hanya di dalam skena musik namun juga di Indonesia secara lebih luas yang katanya sedang menanti bonus demografi yang akan membawa kita semua ke haribaan sebuah Generasi Emas:
“Benih-benih bertumbuh di sela puing
Harapan mencari jalannya
Orang-orang muda berkobar menjelma cahaya
Lajunya tak terbendung, jadi bersiaplah, maka rayakanlah”
Jadi mungkin saya salah menginterpretasi tweet Felix sebagai sekedar pujian lebay-prematur terhadap The Jeblogs? No idea. No debat. Wk. Kan saya udah minta dijelasin terus dia males jawabnya. Coba nggak males. 😛
Selain memberikan clue bahwa The Jeblogs mungkin adalah generasi penerus dari skena garage rock revivalists Ngayogyokarto-adjacent (karena mereka sebenernya dari Klaten), @alfanrahadi0079 juga memberikan beberapa rekomendasi playlist, termasuk:
Setelah mendengarkan Mati Muda oleh Jenny, saya jadi makin penasaran dengan hubungan di antara band-band dan genre-genre di atas, antara The Jeblogs, Jenny, The Strokes, garage rock, post punk, indie rock (beberapa riff The Jeblogs juga mengingatkan akan The Pixies circa Doolittle atau The Rentals circa Return of the Rentals, dst.) Awalnya saya berkomentar begini kepada Alfan:
Tapi bagaimana kita sebaiknya menyikapi referensi The Jeblogs terhadap Farid Stevy di lagu Sebat Dulu? Liriknya begini:
“Drama apa lagi yang kau suguhkan kali ini
Lebih kocak dari Aldi
Lebih payah dari seni Farid Stevy”
Saya tidak tahu siapa itu Aldi, tapi apakah seluruh stanza yang disajikan di atas riff You Only Live Once The Strokes yang dilambatkan ini sebuah tribute terhadap Farid Stevy yang di akhir lagu Mati Muda itu mengcopas pleketiplek riff Reptilia The Strokes tanpa alasan yang jelas (tribute? pastiche? sampling manual pake Fender Strat?) — dan itu satu-satunya bit yang memorable dari lagu tersebut, atau sebaliknya, apakah dalam keintertekstualitasan di antara kedua lagu ini (keempat lagu kalau menghitung dua lagu The Strokes yang dijadikan inspirasi) sebenarnya The Jeblogs sedang mengkritik, ngecengin Farid Stevy? “Gini lho kalau mau nyontek The Strokes, jangan pleketiplek dong…”
Beberapa netijen di diskursus The Jeblogs yang terus bergulir ini menunjukkan bahwa di lagunya Manifesto Postmodernisme, Jenny juga sudah mengatakan bahwa “tak ada yang baru di bawah matahari”. Mau bilang, ya, itu memang maksud kalimat terakhir di cuitan saya di atas cuma saya terjemahin aja jadi bahasa Inggris, tapi kok ga tega. Lebih menarik membahas, apakah menjadikan baris dalam manifesto itu menjadi raison d’etre Farid untuk mengcopy riff Reptilia pleketiplek seperti Kanye menyampel Harder, Better, Faster, Stronger Daft Punk, misalnya (cari sendiri contoh-contoh sampling lain artis hip-hop) adalah alasan yang cukup, karena bukankah di dalam manifesto itu Farid sebenarnya masih percaya ada hal yang baru?
“tak ada yang baru
di bawah matahari
katakan sesuatu yang baru
dari dalam isi kepalamu”
Tapi kalau isi kepalamu ternyata sama aja dengan Nick Valensi dan Albert Hammond, Jr. berarti tetep tak ada yang baru dong di Mantrijeron?
Dan, apakah ironi dari manifesto Farid Stevy ini juga dikritik oleh The Jeblogs di lagu pamungkas dalam album mereka, “Track 8” (tak ada yang baru di bawah matahari jadi ngapain juga bikin judul lagu? Lucuk):
“Sampai kapan kau diam di kepala
Sedang dunia begitu luasnya
Jangan mati membusuk di sana
Biarkan kakimu mengembara”
Apakah ini versi halus dari, “Mainmu kurang jauh, Bang…” — sebuah kritik pedas bergaya pasemon yang halus dari dedek-dedek skena musik di pinggiran Klaten terhadap abang-abangan senior mereka di pusat keadiluhungan Ngayogyokarto?
Sampai di sini saya jadi sadar, kemampuan The Jeblogs mengolah lirik yang halus dalam balutan musik garage rock post pop punk mungkin bukan hanya pengaruh lirikus pendahulu mereka, tapi juga pengaruh sastra Indonesia. Di cuplikan video gig mereka di Synchronize Fest yang diupload Felix kelihatan ada background video art yang menampangkan baris dari lagu mereka (hit mereka yang pertama?), “Bersandarlah”, “Hidup memang begitu indah, hanya itu yang kita punya”, dalam font raksasa yang sedang dinyanyikan bareng semua penonton dengan sekuat tenaga. Anak skena sastra tentu tahu ini adalah baris yang diambil dari judul buku esai Dea Anugrah, “Hidup Begitu Indah Dan Hanya Itu Yang Kita Punya.”
Seperti kita tahu, Dea juga seorang penyair, dan di beberapa liriknya, The Jeblogs mampu menyaingi kelirisan Dea maupun penyair-penyair Indonesia yang lain (misalnya Adimas Immanuel, Aan Mansyur, … pilih sendiri penyair male loneliness epidemic-mu). Misalnya dalam baris-baris ini, sekali lagi dari “Track 8”:
“Seperti rokok terbakar
Di sela-sela jari
Kau dan aku
Berjalan mundur
Menuju akhir”
Okay, pwissie. Lebih inventif daripada “Kau dan aku selalu untuk selamanya, kau dan aku selalu untuk bersama” Nidji, misalnya.
Track 8 ini juga menarik buat penyair seperti saya karena durasinya yang 8:49 ternyata juga meliputi bagian spoken word di tengah-tengah lagu yang diawali dengan pengulangan kata paling keramat dalam puisi Indonesia, “Aku, Aku, Aku…”, seakan-akan The Jeblogs ingin mendeklarasikan bahwa mereka yang bukan penyair tapi anak band juga boleh ambil bagian dalam Puisi Indonesia. Segmen spoken word ini dibawakan dengan gaya antara lo-fi/lo-energy Edo Wallad di lagu “Gadog”, kolaborasinya dengan Texpack, dan angkara Morgue Vanguard di coda spoken wordnya di lagu “Kontra Muerte”,
“Tapi tidak hari ini
Niscaya terbungkam,
Tidak hari ini
Langit pasti menutup,
Tapi tidak hari ini
Detaknya akan berdiri, rangkul kawan kalian kanan-kiri
Gelap pasti kan datang,
Tapi tidak hari ini!”
terutama di refrain “Tidak hari ini!” yang diulang-ulang dengan nada suara makin lama makin mau nangis.
Bandingkan dengan refrain spoken word di lagu The Jeblogs ini:
“Untuk hari ini untuk hari ini
Untuk hari ini untuk hari ini
Untuk hari ini untuk hari ini
Untuk hari ini untuk hari ini
Untuk hari ini untuk hari ini
Tak kusayat leherku untuk hari ini
Tak kuikat nafasku untuk hari ini
Tak kulubangi dadaku untuk hari ini
Tak kuhamtam aspal untuk hari ini
Tak kutenggak racun untuk hari ini
Tak kutenggelamkanku untuk hari ini
Aku rawat gelisahku untuk hari ini
Aku rasa khawatirku untuk hari ini
Tangis menangisku untuk hari ini
Tawa tertawaku untuk hari ini”
Hmmm, tapi sebenernya gaya spoken word The Jeblogs di lagu ini paling pas dideskripsikan memakai Twitter handle seseorang yang saya iri banget pengen kepikiran duluan: fugazi calzoum bachri
Akhirul kata, banyak sekali aspek-aspek dari The Jeblogs — yang saya sebutkan di atas belum semuanya — yang bisa dibahas, dianalisa, bukan untuk masturbasi seperti kata Felix, tapi untuk menggali lebih dalam kekayaan dan kedalaman pikiran dan cara — dari referensi musik dan lirik hingga intertekstualitas di antaranya — The Jeblogs mencerna dan mengolah ulang pengaruh pendahulu-pendahulunya dalam skena garage rock post pop punk revivalists yang sepertinya gak perlu dikasih label revival lagi karena gak pernah hilang juga. Sambutlah matahari, biarpun ia masih juga terbit di ufuk timur!
PROPAGANDIS YANG BAIK ADALAH PROPAGANDIS YANG MATI: RENUNGAN SEPTEMBER HITAM
Bandung terlalu cerah untuk September Hitam. Langit biru. Udara nir-polusi. Yang hitam hanya lorong-lorong besi Skybridge yang baru di Stasiun Bandung. Di perjalanan kereta api Parahyangan dengan pemandangannya yang trés mooi indie, seorang teman mengirim pesan di WhatsApp: “Kalau inget di film lewat djam malam stasiunnya kan lumayan authentic euro design tuh, entar kalo udah sampe ngerasain dah itu stasiunnya udah dibentuk jadi seakan-akan airport. One of them Ridwan Kamil-esque form over function bullshit.” Memasuki salah satu Skybridge itu kesan pertama adalah, ini adalah elevator paling lambat yang pernah kunaiki. Di ujung elevator ada banyak sekali plang tapi tidak ada yang bisa kumengerti. Seorang satpam berdiri di tiap ujung elevator yang membawa penumpang dari peron-peron. Mereka semua menanyakan hal yang sama: “Dari sini ke mana ya, Pak?”
Setelah diarahkan ke elevator turun paling ujung untuk menuju ke tempat penghentian taksi, saya hampir terjungkal meletakkan kaki di elevator landai yang derajat elevasinya sepertinya terlalu curam. Bukankah dia, RK, adalah arsitek? Apakah dia juga seorang pionir wahana elevator maut? Ah, semoga saja jika aku terjungkal di sini aku akan semakin… mendekati surga.
Sayangnya bukan surga yang menantiku di bawah Skybridge, tapi hanya tempat tunggu stasiun kereta masih seperti yang lama, dengan deretan restoran dan kafe yang sama, yang dulu bisa dicapai dari peron cukup dengan menyeberangi rel tanpa risiko leher patah. Saya membalas pesan WhatsApp teman saya tadi (orang Bandung asli) di depan kedai Roti’O: “wtf is this skybridge. confumaxxxing. elevator slower than javanese dance.” Di pintu keluar stasiun pun skena pemesanan taksi masih membingungkan seperti dulu: diarahkan untuk terdampar di lapangan parkir bersama dua SPG Blue Bird tapi tanpa ada satu pun taksi Blue Bird. Padahal tadi banyak yang kosong setelah menurunkan penumpang. Halo, halo Bandung. Ibukota kebingungan.
Akhirnya taksi datang. Interiornya panas, padahal udara di luar lumayan sejuk. Membawa saya ke sebuah vegan bakery di daerah Dago yang direkomendasikan teman yang anaknya kuliah di ITB. Kamar single Airbnb yang saya pesan baru akan siap jam 3. Acara September Hitam yang digagas Ucok Homicide mulai jam 12-an di IFI. Pengen juga datang di sesi pertama, ada Sutjiwati Munir, Cholil Mahmud, dan Zen RS. Tapi saya lapar dan merasa perlu mengenali Bandung lagi setelah lama tidak ke sini. Terakhir sebelum pandemi. Saya orang Jakarta langka yang tak punya hubungan khusus dengan Bandung sebagai kota liburan akhir minggu, atau kota rantau untuk kuliah. Setiap kali ke Bandung yang saya ingat adalah kesan diputar-putarkan oleh kota ini. Setelah ke poin A, mau ke poin E, kenapa melewati poin B, C, dan D lagi? Seperti dipental-pentalkan di dalam meja pinball tanpa daya mengatur trayek(tori) sendiri. Pernah saya naik angkot ke poin Z mengikuti nama rute di stiker kaca depannya, dan baru sadar angkot itu membawa saya ke poin -Z setelah setengah jam berada di dalam.
Bakery ini lumayan. Mejanya berminyak dan laminating di menunya sudah koyak. Plastik laminatingnya tidak begitu singkron dengan imaji rumahan, rustik, au naturelle, yang coba dibangun. Terletak di sudut sebuah rumah yang tadinya gedongan di Jl. Juanda, toiletnya terletak jauh di belakang bangunan lama rumah ini yang sedang direnovasi besar-besaran. Melewati tempat parkir kecil untuk motor pegawai, kemudian tali-tali kenur bangunan dan kayu-kayu yang bergeletakan, bau cat dan semen, akhirnya sampai di toilet yang hanya ditandai papan nama kayu sementara yang dipasang miring. Tapi di dalamnya ternyata toilet yang dulunya mewah. Bergaya mid-2010-an, dinding kaca berkeliling, keramik parket warna lumut dan bumi, wastafel panjang bergaya tempat minum kuda di film-film koboi. Mewah, tapi tidak dirawat dan berdebu di mana-mana. Orang kaya lama yang terlantar. Dinasti yang runtuh.
Setelah makan siang yang lumayan (telor apung yang terlalu seperempat matang, saus hollandaise yang terlalu wijen – roti ragi alaminya enak tapi dipesan satu yang datang tetap dua), saya berjalan kaki ke arah Dago yang lebih atas sepanjang Jl. Juanda, belok kanan di RS Borromeus, kemudian belok kiri ke Jl. Imam Bonjol. Ada sensasi di dalam hidung yang jarang saya alami di Jakarta, apa ini, oh udara bersih! Antara ingin bersyukur atau mengutuk PLTU Suralaya yang sering bikin langit di GBK tempat saya jogging-selow berwarna kuning sawit. Kezel.
Pesan masuk di WhatsApp. Teman saya yang tadi lagi: “Ouh. Nginep di dago. Fancy.” Satu lagi pesan masuk: “The fall of textile moguls.” Sepertinya maksud teman saya rumah-rumah gedongan di sepanjang jalan yang di tengahnya sepi tapi di ujung masuknya penuh toko, restoran, bahkan sebuah mini-mall (?) ini dulunya adalah milik baron-baron tekstil yang sekarang sudah bangkrut? Dari luar tapi terlihat makmur-makmur saja. Selain toko (peralatan bayi) dan restoran (lomie yang kayaknya enak tapi saya udah kenyang), ada juga rumah yang sudah dirombak jadi Kosan Putri, kantor, dan yang nyaris terakhir di ujung jalan, Airbnb yang saya pesan. Ternyata lebih seperti motel atau losmen. Lengkap dengan meja resepsionis dan printer untuk mencetak dokumen-dokumen atau bon-bon. Saya kira harus bergelut dulu dengan kotak kunci yang passwordnya salah. Sepertinya pemilik Airbnb yang dari kemarin berkomunikasi dengan saya dalam bahasa Inggris cas-cis-cus bukan A’a berambut klimis yang menyambut saya di meja resepsionis dengan logat Sunda medok. Mungkin si mogul tekstil pemilik asli rumah ini sudah pindah ke SF jadi techbro dan santai-santai bakslah sambil ngobryls sekali-sekali dengan penyewa Airbnb-nya di Dago Atas (mungkin sekali dia punya lebih dari satu?)
Rumahnya yang bergaya Neo Deco dengan sentuhan perabot-perabot rotan dan kayu berplitur gelap dirawat dengan baik. Kamar tamunya yang kosong bersih kinclong. Kamar single yang saya pesan hampir sekecil kamar-kamar Airbnb yang pernah saya pesan di London, Barcelona, Swedia, alias kosan 3×4 hanya tanpa celana dalam dan kondom berserakan. Malah kamar yang bertegel “Koentji” kuning polos ini sangat bersih. Ada dua handuk putih bersih digantungkan di tangga bambu yang dialihwahanakan menjadi rak handuk. Tidak ada AC tapi udara di luar dan di dalam sejuk. Kamar menghadap ke taman dalam yang lumayan hijau. Tidak membuat saya ingin tinggal di situ lebih lama daripada sekedar mengeluarkan barang-barang yang nggak perlu dan hanya membuat berat tas buat pergi ke IFI, tapi cukup membuat lega nanti malam kalau pulang paling tidak bisa tidur tenang. Amin.
Saya naik Gojek ke IFI. Saya jarang naik Gojek di Jakarta karena beberapa alasan, tapi saya sempat menyadari ongkos Gojek di sini jauh lebih rendah daripada di Jakarta. Rp4000 ke IFI? Untuk jarak yang sama di Jakarta (menurut peta Google) sepertinya ongkosnya di atas Rp10.000. Menikmati dibonceng sambil lihat-lihat jalan. Banyak ya plang-plang neon baru mengkilap di depan gedung-gedung yang rada busuk – apalagi gedung-gedung instalasi pemerintah? Dinasti yang ogah runtuh?
Tak lama tiba di IFI. Kesulitan melepas helm tapi dibantuin abangnya. Sesi pertama “Dua Dekade Pasca Negara Membunuh Munir” sudah berakhir. Salah saya sendiri. Bertemu Adib Arkan dari Harum Manis (anaknya manis beneran sikapnya, dan beneran harum badannya, dia seorang parfum-psycho-freak) yang membawa saya bertemu Ucok yang memakai kaos Godflesh. Bandung lautan kaos band hitam hari ini. Ucok antusias bercerita tentang presentasi Zen RS mengenai bedanya “kenangan” dan “ingatan”. Sepertinya, dari penjelasan Ucok, kenangan mirip dengan “involuntary memory”, contohnya dalam dunia sastra yang terkenal adalah kenangan yang otomatis, tanpa mampu kita kontrol, timbul dalam benak setelah mencium bau kue madeleine di novel À la recherche du temps perdu Marcel Proust; sementara ingatan adalah “voluntary memory” yang memerlukan usaha untuk mengingatnya. Mungkin itu sebabnya muncul semboyan “Menolak Lupa”. Ternyata untuk menolak lupa kita harus melatih diri, otak, tubuh, jiwa untuk selalu mengingat.
Buat saya, nama “Munir” sendiri menimbulkan dua kenangan – bukan ingatan, karena tidak bisa saya kontrol – yang sepertinya tidak penting dan bisa saja di mata orang lain terkesan meremehkan memori tentang Munir, tapi bagi saya penting untuk mengingatnya dan atmosfer Indonesia di tahun-tahun dekat dengan tanggal dia dibunuh – 7 September 2004, 20 tahun dan 7 hari sebelum acara September Hitam ini berlangsung di IFI Bandung. Kedua kenangan itu adalah, satu, menelpon teman saya pagi-pagi, seorang penulis skenario film semi-terkenal karena film remaja legendarisnya di awal 2000-an, yang juga seorang pothead, mengabarkan desas-desus (pada waktu itu) tentang diracunnya Munir di atas pesawat yang sedang membawanya ke Belanda untuk kuliah lagi. Bahkan saat saya menulis kalimat ini pun, ingatan eh kenangan saya langsung terbang ke reaksi spontan teman saya si penulis skenario itu di telpon rumah yang saya pegang sambil handukan di kamar: “Waduh men, Munir, lagi mau baks, eh malah dibaks.” Begini ya, saya tahu ini reaksi yang dalam banyak segi, nggak banget buat sebuah pembunuhan transnasional seoarang pejuang hak asasi manusia. Tapi harus diakui, reaksi teman saya itu juga mewakili penyesalan dan kesedihan semua orang Indonesia yang peduli dengan hak asasi manusia dan mendambakan seandainya mereka juga punya keberanian untuk tidak bersembunyi di bawah ketek kekuasaan seperti Munir.
Kenangan saya yang kedua berasal dari momen beberapa bulan setelahnya waktu saya lagi pijat refleksi di Laris Love, sebuah salon di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, yang sekarang lebih terkenal sebagai salon tempat cuci-blow mbak-mbak Sudirman pagi-pagi sebelum masuk kantor agar rambut terlihat selalu badai. Menolak Lepek! Sore itu saya tertidur di kursi La-Z-Boy kemudian saat terbangun kaget setengah mati karena di depan saya ada figur oom-oom agak gemuk berambut klimis yang mengkilat terang bahkan di ruangan gelap tersebut, dikelilingi terapis sedang refleksi sambil sekaligus meni-pedi. Figur itu adalah A.M. Hendropriyono. Jika kamu search nama dia, di laman Wikipedia Bahasa Inggris tentang Munir Said Thalib akan ada satu bab tersendiri tentang “State Intelligence Agency (BIN) involvement in assassination” (Keterlibatan BIN dalam pembunuhan [Munir]) yang tidak muncul di Wikipedia terkait berbahasa Indonesia. Di dalam bab tersebut juga ada kedua kalimat berikut: ‘A United States diplomatic cables leak alleged that former BIN chief A. M. Hendropriyono “chaired two meetings at which Munir’s assassination was planned”’ (Menurut bocoran telegram diplomatik Amerika Serikat, bekas Kepala BIN A.M. Hendropriyono “memimpin dua rapat di mana pembunuhan Munir direncanakan) dan ‘In 2014, Hendropriyono admitted to journalist Allan Nairn that he bore “command responsibility” for the assassination, and he was ready to accept being put on trial.’ (Pada 2014, Hendropriyono mengakui kepada jurnalis Allan Nairn bahwa ia memegang “tanggung jawab komando” dalam pembunuhan [Munir], dan siap diadili untuk perannya tersebut.)
Sesi kedua acara September Hitam bertajuk “Kesaksian Keluarga Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu” yang menampilkan keluarga korban tragedi Tanjung Priok, Pak Bedjo Untung, pimpinan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 yang antara lain memprakarsai beberapa kali penggalian kuburan massal korban genosida anti-komunis di tahun 1965-66, dan seorang perwakilan dari Kontras. Pak Bedjo Untung – yang namanya saya selalu pikir begitu ironis, “bedjo” dalam bahasa Jawa juga berarti “untung” sehingga namanya berarti “dobel untung”, tapi nasibnya malah dobel sial karena dipenjara tanpa peradilan selama 9 tahun di penjara Salemba dan Tangerang dalam keadaan yang tidak manusiawi (jika ingin baca tentang keadaan di kedua penjara ini, bisa baca kisah-kisah yang ditulis oleh Putu Oka Sukanta) – seperti biasa tampil dengan karismatik dan penuh semangat sambil berdiri (narsum yang lain duduk) seperti pendeta membakar emosi jemaat. Yang paling saya ingat yel-yel yang dia teriakkan agar diikuti pengunjung di akhir pidatonya. Selain yel standar “Hidup korban! Jangan diam! Lawan!” ia juga menambahkan yel ekstra, “Hidup perempuan yang melawan!” Ini sungguh sikap yang sangat radikal dan patut ditiru, karena bahkan sampai sekarang pun, walaupun sudah ada film seperti Lagu Untuk Anakku karya Shalahuddin Siregar (tentang paduan suara Dialita yang digawangi penyintas perempuan genosida 1965-66 yang dulu ditahan di kamp konsentrasi khusus perempuan Plantungan dan keluarga mereka) serta buku sejarah seperti Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia karya Saskia Wieringa yang berusaha membongkar demonisasi Gerwani dan perempuan-perempuan komunis lain oleh Orde Baru Suharto, sering orang tidak ingat (mengenang juga tidak) bahwa banyak sekali perempuan komunis yang sangat berjasa memperjuangkan feminisme dan hak-hak perempuan Indonesia yang kemudian dibunuh, diperkosa, dikawinpaksa, dipaksa menjadi pelacur, dipenjara, dan diasingkan oleh Orde Baru selama masa genosida anti-komunis 1965-66 dan di tahun-tahun setelahnya.
Sesi ketiga September Hitam bertajuk “Di Bawah Ancaman Proyek Strategis Nasional” yang menampilkan narsum warga Pulau Rempang di Kepulauan Batam yang digusurpaksa demi proyek “Rempang Eco City”, warga Halmahera yang pulaunya telah dirusak dan dicacah-cacah oleh perusahaan tambang emas, nikel dan kobalt, serta (kalau saya tidak salah… ingat!) bekas ketua LBH Bandung bernama Yogi. Yogi seorang narsum yang menguasai sekali retorika. Narasi ceritanya dibangun dengan menarik, informasi yang dia “spill” banyak sekali orang yang belum tahu, dan dia punya “key message” yang jelas dan tak bosan dia ulang-ulang (biar kita ingat!): jangan cepat percaya mitos-mitos yang diciptakan penguasa. Menariknya secara tidak langsung ia juga membahas berkali-kali dengan contoh nyata dan analisis yang dalam tentang peran bahasa dalam menciptakan mitos-mitos tersebut. Misalnya soal nomenklatur “Proyek Strategis Nasional” itu sendiri. Apanya yang strategis? Seperti yang terungkap dari jawaban bapak dari Rempang saat ditanya seorang penonton, anak muda, mungkin mahasiswa?, apakah PSN di Rempang juga melakukan “union-busting” seperti pabrik-pabrik di Jawa, dan apa yang bisa dilakukan untuk melawan? Jawaban selow bapak ini: “Wah dik, gimana ya. Gimana mau melawan, soalnya pabriknya aja belum jadi dibangun. Tapi kita udah digusur duluan.” Hiks. Nama Proyek Strategis Nasional ini, dan juga akronimnya PSN (yang awalnya karena tidak baca poster saya juga bingung, PSN apaan sih ini yang disebut terus?), seperti yang dilakukan juga dengan efektif oleh Orba dengan badan-badan berakronim barok-nya dari Bakorstanasda sampai BKKBN, berfungsi menyamarkan kekerasan dan pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam sastra, istilah-istilah seperti ini disebut sebagai eufemisme. Dulu saya pikir Orba adalah rajanya eufemisme (ingat “diamankan”, “petrus”, “kondusif”, dll) tapi sekarang saya jadi ragu, rezim Mulyono dengan IKN, PSN, dan kerja, kerja, kerjanya sepertinya sudah jadi raja eufemisme (Jawa) baru! Satu lagi contoh eufemisme yang disebutkan Yogi adalah “tanaman berenergi”. Ternyata setelah riset di Kalimantan, dia mengetahui bahwa itu hanya istilah baru (dan menyesatkan) untuk kepingan-kepingan kayu (briket) dari pohon yang ditebang di hutan untuk bahan bakar! Tidak ada tanaman ajaib baru yang “berenergi” dan bisa dibudidayakan, hanya lebih banyak lagi hutan yang ditebang demi konsumsi energi nasional!
Perhatian Yogi pada mitos-mitos yang diciptakan oleh pemerintah membuat pikiran saya, di perjalanan pulang sambil menonton plang-plang neon yang sekarang telah menyala menerangi gedung-gedung lumutan dengan genteng kodok melorot di kegelapan malam dari boncengan A’a Gojek, mengerucut ke beberapa fakta dan imaji yang berulang-ulang saya saksikan dan serap sepanjang hari ini: ingatan tentang Munir yang hilang bersama dokumen-dokumen tim pencari fakta yang diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tapi tidak pernah ia rilis – tapi sekarang kok kayaknya semua orang amnesia tentang perannya dalam penggelapan fakta ini – jangankan mengingat, kenangan pun nggak punya! – dan malah bersorak-sorai merayakan penampilannya di atas panggung festival musik Pestapora? Nyanyiin Coldplay lagi! Yell-EW!; genosida antara 500 ribu hingga 3 juta jiwa yang diputarbalikkan dan disembunyikan menjadi “pengkhianatan G30S/PKI”, pembunuhan 7 jenderal Angkatan Darat dan 3 perwira menengah yang dijadikan alasan (preteks kalau kata sejarawan John Roosa) untuk membunuhi orang komunis di Indonesia – bahkan kesepuluh perwira AD itu kemudian diberi gelar “Pahlawan Revolusi”, padahal justru kematian merekalah yang dijadikan alasan untuk memadamkan revolusi permanen Sukarno melawan imperialisme barat!; pemutarbalikan fakta tentang genosida 65-66 (disebut G30S supaya tentara juga bisa menyingkatnya jadi Gestapu yang terdengar seperti Gestapo Nazi, padahal “pemantik” genosida ini terjadinya pada pagi 1 Oktober, sehigga Sukarno lebih memilih menyebutnya Gestok) ini juga mengingatkan saya tentang “7 Oktober” dan genosida yang sedang terjadi sudah hampir setahun penuh di Palestina dan sekarang sedang meluas ke Lebanon dan Syria, dilancarkan oleh Israel dengan dukungan penuh dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya – kesimpangsiuran siapa sebenarnya yang membunuh sebagian besar dari 1200-an penjajah Israel pada 7 Oktober (sekarang sudah ketahuan ternyata mereka dibunuh oleh tentara Israel Occupation Forces sendiri yang mengikuti Hannibal Directive supaya tidak ada tentara IOF yang ditahan musuh) juga dipakai sebagai alasan (preteks!) untuk membunuh hingga sekarang lebih dari 200.000 penduduk sipil Palestina termasuk puluhan ribu anak-anak!; kemudian peran bahasa dalam kebohongan-kebohongan demi whoosh! whoosh! whoosh! pembangunan infrastuktur rezim Mulyono, meskipun kenyataannya infrastuktur yang dibangun sama nggak gunanya dengan Skybridge Ridwan Kamil dan plang-plang neon yang menerangi instalasi-instalasi pemerintah bobrok di sudut-sudut Bandung – bagaimana semua ini bisa terjadi?
Di titik inilah, saat mau mandi tengah malam dan mendapati ceruk marmer untuk sabun di kamar mandi luar di Airbnb saya kotor berdebu dan masih menyimpan setumpuk lembaran-lembaran sisa sabun batang dan sikat gigi penginap lain yang dibiarkan saja mengumpulkan jamur, tidak sesuai dengan imaji rumah gedongan ini yang menawarkan kemewahan klasik Orla (Orang Kaya Lama) – dan saat suara remuk remake Barisan Nisan yang baru masih berdentum-dentum kayak pakubumi rusak di telinga, hmmm, rada kayak Godflesh ya, makanya Ucok hari ini pake kaos Godflesh? – I looove it, tapi perlu satu artikel tersendiri untuk merekam pengalaman saya menikmati listening party-nya yang jadi sesi terakhir rangkaian acara September Hitam – saya jadi sadar: selama ini, dan masih sampai sekarang, kita semua menghadapi musuh yang sama: PROPAGANDA.
Karena propaganda-lah – komunikasi dan informasi menyesatkan yang dilancarkan penguasa untuk mempengaruhi opini dan tingkah laku kita demi suksesnya agenda tersembunyi mereka sendiri – seorang teman masih percaya Gerwani menyilet-nyilet wajah jenderal di Lubang Buaya.
Karena propaganda-lah kita (tapi aku nggak ya, sori) menari-nari merayakan seorang bekas presiden yang tidak peduli saat seorang pejuang HAM diracun di udara sampai mati cuma karena dia sudi bergenit-genit tampil di sebuah festival musik. Dasar millennial tolol buta politik!
Karena propaganda-lah kita (tapi aku nggak ya, sori) memilih Mulyono jadi presiden dua periode.
Karena propaganda-lah kita (tapi aku nggak ya, sori) memilih jenderal yang diberhentikan karena menculik aktivis jadi presiden pengganti Mulyono.
Karena propaganda-lah kita (yang ini aku juga ikutan, sori) menurut aja masuk ke Skybridge yang tidak membawa kita ke mana-mana.
A Copy of His Mind: Realisme Komersil Joko Anwar
Apakah penonton sedang going gaga atau mereka mengundang Lady Gaga?
Di awal tahun 2000-an, salah satu kata yang paling sering dipakai anak gaul Jakarta untuk mendefinisikan diri sendiri adalah “eklektik”. Segalanya serba eklektik: set DJ, gaya bermusik, gaya berpakaian, ideologi. “Politik identitas” belum masuk kamus, jadi kalau bingung mau present as what, bilang aja, “eklektik.”
Anak gaul Jakarta tak pernah setia dengan patois mereka sendiri, tapi sejak era itu Joko Anwar masih bertahan menjadi salah satu sutradara komersil Indonesia yang eklektik dalam soal gaya, sering bereksperimen dengan bentuk, genre, bahkan disiplin karyanya: setelah mengawali karirnya di industri film mainstream Indonesia dengan menulis skenario film satir-lite Arisan, Joko kemudian menyutradarai film Woody Allen-lite Janji Joni, film pseudo-noir Kala, film gothic-psycho-thriller Pintu Terlarang, kemudian drama keluarga-gore Modus Anomali. Ia juga sempat menulis skenario untuk film komedi Quickie Express, film drama fiksi., dan adaptasi bebas kitab esek-esek Moammar Emka, Jakarta Undercover, yang ia gubah menjadi film kejar-kejaran dengan judul sama yang mungkin bisa diberi judul alternatif Run Luna Maya Run. Keeklektikan Joko juga melebar ke luar film: bikin musikal off-off-off Broadway (aka Teater Kecil TIM) Onrop!, serial TV horor fantasi Halfworlds, dan jadi vokalis superband Mantra yang dimotori Stephen Malkmus, eh, Zeke Khaseli.
Keeklektikan, karena ia konsisten menjaganya, mungkin memang sudah jadi identitas Joko. Sebagai sineas yang dibesarkan oleh Orba kemudian diberi kesempatan oleh sejarah untuk menikmati gegar kebebasan reformasi ’98, ia sepertinya cukup bahagia cap-cip-cup kembang kuncup memilih berbagai macam bentuk karya untuk mengekspresikan ka-auteur-annya. Selain itu, keeklektikan ini mungkin didasari hasratnya untuk menemukan formula film komersil yang paling bisa membuat penonton Indonesia “going gaga”.
Joko Anwar vs. @jokoanwar
Dalam hal tema, ada beberapa benang merah yang meyambungkan karya-karya Joko selama ini, salah satunya adalah kritik sosial yang dilancarkan dengan membuat mise-èn-scene yang menggambarkan Indonesia sebagai tempat antah-berantah kelam-mencekam (noir?) di mana satu-satunya hukum yang berlaku adalah hukum rimba, yang wong ciliknya berharap sia-sia akan datangnya seorang Ratu Adil—dan begitu datang ternyata ia seorang Rice Queen (satu lagi benang merah film-film Joko adalah gay subtext yang menjadi kritiknya terhadap moralitas yang kelewat heteronormatif di Indonesia seperti bisa dilihat di Kala; atau dengan menunjukkan skeptisisme terhadap kebahagiaan ala keluarga sakinah mawaddah wassalam khas Indonesia (Pintu Terlarang); atau sekalian mempreskripsikan final solution buat keluarga kelas menengah ngehek macam itu (Modus Anomali).
Selain dalam film dan opera musikal, kritik sosial Joko menemukan outletnya yang paling maksimal di media sosial. Sebagai @jokoanwar, selebtwit dengan pengikut 911 ribu (per 23 Februari 2016), ia gemar melancarkan kritik-litenya dengan lebih literal. Indoprogress mungkin akan mendefinisikan aliran politik @jokoanwar sebagai “liberal tua”, sehingga tidak mengherankan jika pada pilpres 2014 kemarin ia sempat mejadi relawan konser Salam Dua Jari Jokowi.
Setelah Modus Anomali, yang menunjukkan kemarahan luar biasa terhadap konsep nuclear family dan masyarakat yang mempromosikan konsep tersebut—hingga settingnya pun digubah bukan hanya menjadi tempat berhukum rimba tapi rimba beneran yang memangsa nuclear family tadi!—ada satu pertanyaan penting yang timbul buat Joko: ideologi pursuit of happiness macam apa yang ia tawarkan, yang ia percayai? Kritiknya terhadap konsep kebahagiaan orang lain sudah mencapai titik jenuh—apakah kemudian raison d’être-nya sebagai seorang sutradara? Atau ia lebih nyaman mengkritisi dan menyinyiri semuanya saja? Itu pilihan berkreasi yang sah-sah saja tentu, tapi jika Lenin (dan Godard) benar, bahwa “ethics are the esthetics of the future”, ethics macam apa yang didambakan Joko Anwar si auteur (bukan @jokoanawar si selebtwit) untuk kehidupan berbangsa dan bernegara di NKRI harga nego ini?
Deus ex Maxima
Mungkin Joko sendiri sadar dengan dilema di atas, sehingga A Copy of My Mind menjadi karya pertamanya yang bukan cuma mengolok-ngolok dan mengkritisi moralitas masyarakat Indonesia—terutama materialisme Jakarta yang melumpuhkan—namun juga menawarkan resep untuk mencuri-curi kebahagiaan di antara himpitan poleksosbudhankam kota jahanam ini.
Alek si “pekerja teks DVD bajakan komersil” (apologies to Adrian Jonathan Pasaribu yang pernah memakai “pekerja teks komersil” sebagai profil Twitternya) dan Sari si mbak-mbak facial adalah potret template kaum lumpenproletariat yang tidak akan pernah berhasil naik kelas sekeras apapun mereka kerja, kerja, kerja. Seorang tante gi/garang (GAGArang?) makelar koruptor pelanggan facial Sari yang tinggal di sebuah penjara harga bintang lima rasa bintang lima pun memvonisnya: “Hidupmu itu sama kayak polisi-polisi itu, susaaah!” Sementara itu, Alek yang memilih tidak ber-KTP, tidak ber-SIM, tidak ber-HP—mungkin sebuah usaha agar dirinya tidak menjadi sekedar angka statistik—akhirnya malah dihapus sama sekali dari sejarah Jakarta oleh tangan-tangan hitam dunia politik dagang apel (2024 update: politik gentong babi) yang panik tertangkap basah.
Namun sebelum nasib akhirnya mengubur harapan-harapan Sari dan Alek, mereka masih sempat menikmati saat-saat nikmat keringetan di kos, menyatu dalam adegan-adegan seks yang saru sekaligus seru, atau sekedar keringetan bangun kesiangan masih pelukan. Bahagia itu sederhana, kata hashtag, dan di momen-momen seperti ini, kita hampir mempercayainya sebagai kebenaran.
Kisah Sari dan Alek dituturkan dalam narasi yang tidak biasa bagi Joko: hampir tidak ada yang terjadi selama hampir tiga perempat film, selain cinta di antara mereka berdua yang tumbuh secepat keping-keping DVD memenuhi dinding kamar kos Alek (proyek Alek yang terhenti karena malas dan baru dilanjutkan setelah Sari berjanji membantunya). Sementara film-film Joko sebelum ini selalu dipenuhi aksi sejak babak pertama. Seakan-akan Joko sadar bahwa tema filmnya kali ini lain dibandingkan film-filmnya sebelumnya, lebih personal, sehingga memerlukan treatment yang berbeda pula, yang lebih menunjukkan visi personalnya sebagai auteur dan bukan cuma berusaha untuk membuat penonton “going gaga”. Atau mungkin juga keinginan menawarkan resep untuk kebahagiaan ala Joko Anwar, bukan cuma menawarkan sebuah list errata atas konsep kebahagiaan orang lain seperti kebiasaannya sebelum film ini—sebuah langkah di luar kebiasaan—secara natural diikuti dengan rasa penasaran untuk mencoba cara bertutur yang lain. Membiarkan tidak ada yang terjadi dalam filmnya mungkin biasa buat Béla Tarr, tapi luar biasa buat Joko Anwar.
Sayangnya, sepertinya tidak mudah bagi Joko untuk keluar dari kebiasannya menggunakan bahasa film komersil yang selama ini digunakannya. Mungkin selain ingin penonton merenung setelah nonton A Copy of My Mind, ia juga masih ingin mereka “going gaga”. Tidak cukup tangan-tangan hitam dunia politik merecoki pedekate Sari dan Alek, tangan tuhan pun ikutan. Dalam sebuah insiden deus ex machina yang pasti akan ditolak auteur Dogma (begitu kebetulannya insiden ini, sungguh tergoda untuk menyebutnya sebagai deus ex Maxima Pictures), kisah cinta Sari dan Alek karya Joko Anwar tiba-tiba banting setir menjadi kritik politik ala @jokoanwar. Adegan-adegan yang unik dan membumi (bercinta sambil nonton bokep gay, ngobrol ngalor-ngidul tentang cita-cita (Sari punya, Alek tak punya), ngobrol tentang jenis-jenis DVD bajakan sebagai metafora kehidupan) digantikan oleh metafora-metafora visual klise tentang negara yang tidak mau menegakkan hukum saat hukum itu rubuh diperkosa kuasa (Sari berjalan dekat polisi di tengah-tengah kampanye pilpres setelah Alek dihilangkan, Sari membayangkan udara Glodok yang panas menjelma menjadi dada bidang Alek yang hangat, Sari kembali kerja, kerja, kerja di salon lamanya yang hanya menjanjikan makrodemabrasi bagi nasibnya yang terlanjur carut-marut).
Sindiran-sindiran sosial di film ini jadi gengges karena terasa tidak pada tempatnya. Misalnya, adzan subuh yang dijukstaposisikan dengan adegan coli—sindiran tentang kemunafikan kaum hiper relijius yang mengundang reaksi yaelaaah, yaiyalah dapat salam dari Islamophobia. Sayang, karena sebenarnya adzan subuh dalam film ini sudah punya peran yang lebih menarik dan tidak klise: menjadi alarm bangun pagi buat Sari—bukan pengingat lebih baik solat daripada tidur tapi lebih baik bangun subuh daripada tidak kebagian antrian mandi di kosan. Suara adzan dari loudspeaker yang sering dikomplain mengganggu digambarkan menjadi sesuatu yang telah menjadi banal, fungsional, dan hanya berperan meningkatkan produktivitas kerja, kerja, kerja. Ini justru sindiran yang lebih radikal sebenarnya, adzan subuh sebagai Apple Watch purbakala!
Bahasa yang menempel atau politik tempelan
Bahasa film yang komersil sepertinya juga membuat Joko tidak bisa tidak menambahkan adegan-adegan yang tidak perlu hanya karena narasinya memang harus sesuai standar piramida Freytag: exposition-climax-dénouement. Contoh yang paling baik untuk ini adalah scene Sari striptease di kamar Alek yang dilistrikkan jadi sebuah disko, yang menjadi klimaks selesainya proyek mereka menghiasi dinding dengan keping-keping DVD sekaligus klimaks mekarnya cinta di antara mereka berdua. Scene ini jadi terasa mengada-ada karena kayaknya harus ada aja, karena diwajibkan oleh plot dan bahasa film yang setia mengikuti pola piramida Freytag tadi. Tidak ada keterangan lebih dalam tentang karakter Sari sebelumnya yang bisa mengindikasikan bahwa di balik mesam-mesem alaynya ia sebenarnya adalah seekor kupu-kupu siang malam yang sudah tidak sabar menunggu lepas dari persahabatan bagai kepompong dan ingin segera asyik-keluar-masyuk dalam percintaan sampai dengkul kopong. Justru Sari terlihat lebih tertarik dengan koleksi DVD Alek daripada koleksi otot di bicepnya. Waktu bercinta dengan Alek pun ia selalu lupa mencopot behanya!
Nasib yang sama terjadi pada kritik politik yang dilancarkan film ini sejak insiden deus ex Maxima tadi. Selain tempatnya mungkin lebih tepat dalam sebuah kultwit @jokoanwar berhashtag #politikitumunafik #bahagiatidaksederhana #keringetandikos #negaragagal, kritik ini juga harus dipanjang-panjangkan untuk mencapai dénouement-nya sendiri. Alek harus dihilangkan dan si pembunuh berkeringat dingin yang dibayar menghilangkannya harus dengan klise dan dalam ironi yang dipaksakan ngobrol-ngobrol sok sersan tentang masalah sejuta umat, “honor kecil nggak bisa nabung belum bisa beli rumah”, sementara Alek terkapar tak berdaya mungkin juga tak bernyawa di dekat kakinya. Sepertinya, poin bahwa Jakarta kejam tiada tara terhadap kroco-kroco lumpenproletariatnya sudah ditegaskan berkali-kali, tidak perlu lagi diulang dalam adegan-adegan sadistis-sok ironis ala Joko Anwar. Atau mungkin itu poinnya, adegan-adegan seperti itu harus ada karena ini masih film Joko Anwar, yang harus mengandung adegan-adegan sadistis-ironis pun belum ala Joko Anwar. Tapi itulah justru yang membuat kritik politik dalam film ini jadi terkesan lebay—karena yang diomongkan sebenarnya tidak lebih dalam daripada politik itu munafik dan menyiksa wong cilik, tapi juga dinyatakan berulang-ulang, dan bahkan di akhir film seperti telah menyisihkan sama sekali kisah romantis-tragis tentang koneksi personal antara Alek dan Sari yang sebenarnya mengharukan. Karena porsinya yang terlalu besar sementara kemunculannya begitu mengejutkan, kritik politik dalam film ini terkesan seperti sekedar tempelan, mungkin untuk menambah bobot kisah romansa yang takutnya dianggap terlalu 4LAy. Kenapa harus drama? Kenapa tidak?
Kegedean tema, gaga(p) bahasa
Dalam sebuah percakapan di awal pedekate Alek dan Sari, Alek mewanti-wanti Sari si maniak DVD agar jangan membeli DVD bajakan yang berlabel “Combo Format”, karena DVD yang berlabel itu pasti hasil kopian dari kopian dari kopian yang kesekian, sehingga gambarnya pasti jelek. Adegan ini bisa menjadi metafora bagi keengganan Sari dan Alek menjadi sekedar manusia-manusia combo format, sekedar copy dari ratusan juta manusia Indonesia lain yang hidupnya cepat atau lambat akan jadi makin kabur sebelum akhirnya hilang tanpa meninggalkan bekas, atau bisa juga menjadi metafora kebelumberhasilan Joko (sampai di titik ini) untuk meninggalkan bahasa film komersilnya yang lama dan menciptakan bahasa baru yang lebih personal, lebih auteur.
Jika “my” dalam A Copy of My Mind diinterpretasikan sebagai “Joko’s”, maka ternyata kepalanya masih mengandung banyak residu-residu bahasa film komersil, yang selalu berusaha, kadang terlalu keras, membuat penonton “going gaga”. Padahal ternyata bahasa seperti itu kurang cocok untuk menarasikan kisah romantis-tragis tentang mencuri-curi kebahagiaan sesaat di antara siksaan kesepian, keringetan, dan kemiskinan. Kisah tentang mereka yang dilumpuhkan, yang sudah penuh drama, ternyata tidak sesuai didongengkan dengan bahasa yang strukturnya dirancang untuk merekayasa melodrama. Film ini tidak sepenuhnya gagal menceritakan kisah manusia-manusia gagal, tapi ada jurang menganga di antara temanya yang personal dan bahasanya yang komersil—yang sering memaksakan yang personal menjadi politikal, dan yang politikal menjadi personal.
Naik kelas emang nggak gampang.
crawling to voice
some of my earliest memories of australia were of western sydney. summer of 92/93. a democratic socialist party conference at the university of western sydney (i’ve noticed it’s now the wsu – western sydney uni). i had no idea who trotsky was, what was his beef with lenin, were they in different indie bands? so i spent three days reading lovecraft and crying into my journal (it had a picture of a sunset and a horse on it) in a darkened boarding house room (i closed all the curtains – it was blindingly bright outside), eating oranges i pilfered from the breakfast table (they were free, but it still felt like stealing).
i saw a wiji thukul performance during the arts night at the end of the conference, a performance art piece acted by himself, assisted by several young white activists, crawling in and out of oil drums with both ends cut out. considering the hearsay of how he was disappeared not more than five years later, these images still play as a chilling short horror flick in my head [ominous music playing].
we were co-living in a group house in dulwich hill along with several other leftist/ish indo activists, including the current director general of culture, hilmar farid, who still had his magnificent wavy glam metal mane then and seemed to be as popular with the ladies as tommy lee.
i escaped the daily seminar of reading 100 pages from lenin’s collected works by sneaking out to the summer hill pub to see local death metal bands. sadistik exekution played one day. the bouncer seemed unable to guess my age being an ageless azn boy so he just took the five buck note from me every time.
little did i know that this brief period in my life foreshadowed even more depressing years around a decade later of me as an inner westie.
sylvia nguyen, the anti-heroine of shirley le’s funny af funny ethnics (fr), is not an inner westie, she’s an out-and-out, proper, true blue?, westie from yagoona. i checked on google maps and the first aussie macca’s next to the hume highway mentioned as yagoona’s claim to fame in the novel is only an 18-minute drive from wsu/uws. i could’ve gotten a big mac and nuggies to go with my oranges.
the novel began with a dramatic soz, mea maxima culpa – sylvia confessing to her first-gen vietnamese immigrant mum me (with diacritic under the e) and dad ba that she was gonna drop law at uni (the already supposedly second-rate macquarie – “most students from slc [her selective school] ended up at the top unis like sydney uni or unsw”) to become a writer.
the scene straightaway brought my mind back to tracy lien’s all that’s left unsaid (okay, probably only because i’d just finished reading it before continuing my current contemporary aussie novels binge with funny ethnics), also a novel set in/about western sydney (lien’s set in cabramatta in the 90s) featuring a(n actual) heroine who also chooses a left-field profession for a “model minority” in australia (a journalist).
both main characters, sylvia in funny ethnics and ky in all that’s left unsaid, are even paired with the same type of contrasting, wilder, more slay bffls (sylvia is virginal and fears getting “dickmatised” and her best mate before the inevitable falling out/ghosting/getting canceled/blocked is fast-talking tammy, who studied fashion at TAFE while working part-time at bankstown’s professioNAIL (an artisanail!); ky is a model nerd and her bff is the heavily tattooed minnie who dropped out of highschool to join a cabra gang) – mean girls to their legally browns.
but in terms of the textacy you get from the prose and the complexity of each author’s positionality/pov – the different strategies le and lien took to weaponize their “own voice” storytelling – the two novels couldn’t be further apart from each other.
whereas all that’s left unsaid is written as a fast-paced plot-driven page-turner, in no-nonsense prose that borders on the hackneyed (the repeated metaphor of ky’s flashy rimless glasses suggesting she sees things that her community refuses to see is highkey cringe), undoubtedly with an eye for a possible future netflix adapt (this was my first impression early on, but i just checked and there’s an interview with lien on shondaland.com!), funny ethnics is rife with fantastic roflmao digressions (btw, afaik no one else has made the brilliant move to title all their novel chapters with internet acronyms? FML, SRSLY, IDC, GL, etc. – ROFL!) and seems to treat plot as more of an inconvenience than necessity. and i fucking love it.
in that first scene for example. some reviews quoted the following passage as an example of le’s funny (perhaps it’s part of the press release?): “i had an important announcement to make. earlier, i had cleared away the bowl of kiwi fruit and the napkin dispenser, as well as the matching cork coasters. just in case things became physical.” but for me the best part came right after when le went on one of her magnificent digressions telling the story of an aunt from france who visited her home and had to listen to an archaelogical lesson from ba on the origin story of his prized marble table (where sylvia’s confession was about to take place): “he spent thirty minutes explaining to her that the table was forty thousand years old and watched as she traced her fingers over the little crustaceans that had curled up and died in the slabs of beige stone, ‘c’est magnifique,’ she murmured.” c’est LMAO, i gagged.
another one of my favourite passages was when sylvia, stuck at home after dropping out of law, went on an expedition to “explore the hidden gems of western sydney” – the first stop “an aqueduct in greystones that looked like the entrance to a lord of the rings castle.” behind a block of public toilets off cumberland road she encountered joe, a “drop-kick” who identified as a “flâneur” and enlisted her help to pick magic mushrooms in a “shrooms shrub” and split the results 50/50. in this passage le went from realism to electric surrealism in a heartbeat, from rambo: first blood to rimbaud: 1873. “wet soil squelched beneath my fingertips. i inhaled, expecting to smell rain. instead i smelled raw meat. i opened my eyes, looked down and near my finger was a quivering mass of flesh marbled with chunks of fat. i stopped breathing. my brain. my brain had fallen out of my head. i patted the top of my forehead. hair on a skull. i traced a finger along my scalp. checking for stitches. [paragraph break] i’d read mary shelley’s frankenstein in high school, the only book i’d finished in those years. i had been fascinated by the monster, described as having ‘yellow skin scarcely covering muscles and arteries’, its hair ‘lustrous black’, brought to life only to be shunned by society.”
cleverly putting in a reference to shelley, lowkey comparing the fate of asians (“yellow skin”, “hair lustruous black”) in white australia with the fate of the monster (“shunned by society”) after having just summoned benjamin’s flâneur and stuck him in the Great Australian Bush, at the same time exposing an archetype of modernist malaise as just “a fancy word for bludger” but also displaying a tenderness for him, this average, basic joe (the flâneur’s actual name!) for boulevarding off a highway – a perfect mix of sincerity and artsiness i haven’t seen since, full disclosure, SRSLY, fugazi.
talking about fugazi offers me the perfect segue to my own “own voice”. sylvia and her westie friends detest (white, inner west) indie kids: “listening to triple j was like listening to a foreign radio station. obscure references to people with names like leonard cohen”. IJBOL. i’m brown, and i’ve lived in jakarta, indonesia, for the last 18 years, but i still remember richard kingsmill. i’ve got multiple copies of beautiful losers and songs of love and hate. i spent my teenage years in canberra watching indie films at electric shadows (salo and almodovar’s entire oeuvre up to 1999 were highlights); seeing fugazi, mo tucker, weezer at the anu bar; reading eliot, austen, cohen. my english teacher in highschool (narrabundah college) was fucking geoff page (respect to the dude tho, he once endured reading to a room of students stoned out of their minds during a theory of knowledge camp on the south coast) – i can’t think of a more perfect coconut than me.
here in jakarta i still speak half english, half indonesian at home and with friends, and run a spoken word night (since 2017) where most of the crowd/readers codeswitch as a rule (earning their pejorative moniker “jaksel” which today seems to stand for anything that screams “privilege!” – from speaking english to wearing head-to-toe masshiros (whites only please). and yet i often feel frustration whenever my white aussie friends (who were my surrogate family when i lived there – and i still love them – and who now live all over the world, though some have also been happy enough to grow roots in tuggeranong) fail to understand the extent of my third-world (mostly financial) precarity. just because i can post about my top 10 gbv albums on instagram doesn’t mean that i can just fly off to sri lanka next year to join them on the australian cricket team’s tour to celebrate 30 years of our friendship. SMH. yes i’m so white australian i even watch the cricket. i did go to the unsw like a model minority azn but i was there to fail a phd thesis on “the bradman myth” (true story).
i am surprised though, looking back on the very beginning of my writing “career” as a poet, to realise that the very first poem i’ve ever written properly, and by properly i meant once i found out about the real weight of (mainly white, english-speaking) poetic traditions bearing down on me, was a robert lowell pastiche set at badde manors, the famous vegetarian café on glebe point road, inner west ground zero, but one that was – this was my oblique confessional in the poem – questioning my place as a brown boy meddling in english poetry. i’ll quote (just some lines, the whole thing makes me gag, not in a good way):
Lowell would give her a name, grand and old,
like De Witt Clinton, Hoes, or Vanderpoel
Of strange origins and split-second force
hung heavy on history’s family tree.
The sound of morning, meaning still far-fetched,
begins here. The date on the wall, Roman,
smiles and nods its dark head: Lowell is dead.
“her” was the barista, also white. what am i doing surrounded by all this whiteness? SMH.
i sent off the poem to a “sydney urban poetry” contest organised by the new south wales writers’ centre (now writing nsw?), and was invited to a reading for being one of the top 5 poets. the reading was at the glebe library, my local, and i was the only brown poet there. when i walked off the stage i could hear an elderly (yes, white) lady telling her friend, under her breath but still loud enough for me to hear, “well, that was a bit dry, wasn’t it?”
the thing is, she was right. ROFLMAOZEDONG.
why didn’t write my poem in the ouyang yu tradition instead of lowell? because i didn’t know then there was already an azn-australian man writing angry poems about white australia that weaponized that whitest of literary trope – the irony – against itself. “that is an indonesian struggling with right diction”, says “The White Australian”, “a nameless guy in Asia”, “a literary editor” in white australia in yu’s The White Australian (Kunapipi, 20(2), 1998). 1998! i wrote the stupid lowell poem (real revised title) in 2000! FML.
but is my “own voice” the voice of someone like yu? lulz. in that poem, there’s a “chinese pretending to write in bad english”, maybe that’s yu being shady about himself, but hey, i really do struggle with my diction! i’m constantly dictmatised. i want to be funny like le, a perfect cross between lorrie moore’s punny drollness and intan febriani’s savage take-downs (now that’s someone with a strong own voice, pity she doesn’t write anymore).
on my recent morning walks around menteng, past the old home of suharto, the former dictator who was in the last throes of his rule when i was living down under, past many ugly mcmansions (suharto’s isn’t one, his was in the ’70s civil servant humblebrag style, no doubt deliberately chosen to enhance his farmer-boy-made-good father-of-development image), inhaling the sweetish, old sugar factory smell of polluted air – on which an aussie friend now traveling across continental europe (last stop: “fulfilled a lifelong dream to visit notre dame du haut by le corbusier in ronchamp, france. well-described by x as ‘y’s make-a-wish trip to disneyland.’” to be fair, another white aussie friend, one of those who chose to grow roots in canberra suburbia, cut the tall poppy down pronto: “a lecorbusier church – like worshipping at the old belco bus shelter.” WKWKWK) commented when i posted a photo of my morning walk on instagram: “love that weird Asian mega city pollution twilight”). ah sarcasm, the refuge of the hyper-educated!
during those walks i’ve also been listening to a lot of podcasts on contemporary asian-australian books and authors – nina wan, the aforementioned tracy lien (they were interviewed together in one), a live broadcast from the sydney writers fest featuring the spec-fic novelist grace chan, le’s stablemate at affirm press (btw, chan’s bio is “australian writer and psychiatrist”, a model minority for me if ever there was one!), a feature on the helen demidenko affair (remember her, née darville, now dale? now that’s someone who struggled with their own name let alone their “own voice”!), and so far two interviews with le herself that i’ve found. the second one was actually tacked on to the end of the abc book show’s “fakes and frauds” episode on the helen demidenko affair – was it in any way deliberate, why? – featuring an interviewer who i thought was more than a bit irritating, slyly suggesting that perhaps the readers would like to hear more about sylvia’s parents’ boat people stories when the whole point of funny ethnics was telling the story of the second generation of vietnamese refugees in australia (sylvia’s/le’s), not the first (ba’s and me’s with diacritic)! note the clever way le uses the mum’s name, me with the diacritic and the object pronoun me for sylvia – sometimes you have to do a double take, did she mean me or me with the diacritic?, to suggest, almost primally, the deep emotional connection and compassion between the two despite the generational gap. the abc interviewer’s question is like if an old bule expat asked me, after reading my novel set in the jaksel club scene – the vixxxens, the mr foxes, the duck downs – ”no, please, tell me more about zanzibar and tanamur.” SMDH.
in several of these podcasts, le spoke of a “coming to voice” – aka, in her case, finally finding her “own voice” in the company of other sydney westie poc writers at sweatshop, “a literacy movement based in western sydney which is devoted to empowering culturally and linguistically diverse communities through reading, writing and citical thinking”, whose founding director michael mohammed ahmad wrote the lebs, the first of these sydney westie novels i read (sometime before pando) which kicked off my slow binge.
i wish sweatshop had existed when i was still living in sydney in mid-2000s – when i wrote that first poem whose voice was colonized by lowell, the whitest, born with the silverest of a silver spoon among the confessional poets. SMH. if there was something like sweatshop back then, perhaps i would not have felt so alone or confused, disconnected. i knew even in that très coconut poem that i was questioning my place not only in white australia but also in the western english-speaking poetry traditions – but the question manifested itself only vaguely through the subconscious and the alchemic magic of poetry, suddenly it was there at the end of the poem, but i didn’t know how it got there, or what exactly it (i) was asking or demanding. i felt there was something wrong with me, or the situation i was finding myself in – not realising that it was a sign instead of being wrong that i was actually on the right track to find my own voice even if i was still in the very beginning of the journey.
on le’s instagram there’s a poster of a session she appeared in at the latest brisbane writers fest, captioned “coming of rage”. IMHO though funny not quite the perfect made-up genre for funny ethnics. i’ve been tearing my hair out trying to find a working pun of my own for it, but so far no go. le’s novel is more of a comic, parodic, anti-, bildungsroman. if sylvia and tammy were dudes, i’d have my pun and call it a bildungsbromance. on the evidence of this debut novel, le is already a masterful comic author, and in that regard (only) she shares more with evelyn waugh or lorrie moore than with, say, michael mohammed ahmad. the combo of comedy and bildungsroman is well established. comedy can be savage on the genre’s anxiety about the social, professional, and romantic standing of its heroes/heroines, and le somehow manages to combine savagery with empathic irony in funny ethnics, presenting like a lovechild of bianca del rio and jinx monsoon. for example, when she went on full-on parodic mode to tear the “native speaker english tutor” stereotype to pieces by creating the jabba the fat bastard-like character of “Sir” – “The stench engulfed us and so did the humidity. The small room was crammed with at least fifty Viet children… In the middle… sat a white man with yellow-white hair slicked back and fluffy white hairs trailing down his jowls, sticking out of his ears and visible from under his vulture-beaked nose. He was the source of the smell.” – she then did an almost complete u-turn, lowkey praising him for teaching the kids prosody via poe’s poetry and his roasting of teacher’s pet/”vocaburglar” joey pham: “… MY BOY. BIG WORDS DON’T EQUAL BIG MEANINGS. BEING CLEAR AND HAVING INTERESTING IDEA IS WHAT MATTERS.” le never guns for “white tears and white laughs“, but she doesn’t go for easy brown(ie) points either. funny ethnics is morally complex, like all good comedies are.
so when le said in the helen demidenko podcast that “the spectrum of humour and laughter is just so wide, and i’ve tried to explore that in funny ethnics where we get all types of laughter, from a snicker to a deep, rich laughter straight from the belly”, for once she wasn’t joking. SRSLY.
so yeah, if only sweatshop – perhaps i could’ve completed my coming to voice years ago instead of still struggling in my middle age with a slow af crawling to voice. FML.
Madame la directrice, I 💘 You
Sebagai penulis yang sering dipertanyakan kenapa “ngehek”, “nyinyir”, “borjuis”, “keminggris”, saya berhutang banyak kepada puisi-puisi Toeti Heraty (Rest In Eternal Cocktail Party) sehingga akhirnya saya berani menjadi diri saya sendiri yang sepenuhnya—ngehek, nyinyir, borjuis, keminggris.
Kalau penyair laki-laki sok kosmopolitan segenerasinya seperti Goenawan Mohamad, misalnya, membuat kota-kota di luar negeri sebagai latar belakang eksotis puisi-puisi mereka—seperti influencer lagi pamer foto-foto liburan di Instagram #wanderlust—Toeti, yang hanya dari melihat judul-judul puisinya kita tahu sering berkelana ke luar negeri (“Geneva Bulan Juli”, “New York I Love You” yang di kemudian hari diganti judulnya jadi “I 💙 New York”, “Surat Dari Oslo”), melihat kota-kota itu dengan santai saja, seperti nongkrong di kafe dan mending konsentrasi mengoles mentega (bukan margarin ya!) di croissant daripada nontonin jalanan.
(Madame la directrice, putri Bapak Beton Indonesia Roosseno Soerjohadikoesoemo yang memulai karirnya dengan mendirikan Biro Insinyur Roosseno & Soekarno (ya, Ir. Soekarno yang itu) punya kafe sendiri di Galeri Cemara 6 miliknya di Menteng, yang juga museum dan losmen favorit seniman-seniman dan aktivis nusantara (“agak terhormat dengan sebutan Galeri?” :D). Jika telpon ke asistennya tidak diangkat, orang akan dinasehati untuk datang saja pagi-pagi ke Cemara, Bu Toeti pasti ada di situ sedang menikmati petit-déjeneur-nya. Kafenya satu lagi di Oktroi Plaza Kemang juga tempat nongkrong yang asoy jauh sebelum ada Starbucks di seberang.)
Bandingkan Goenawan yang mengeluh “pagi ini tak ada koran untukku” di Cambridge atau Taufik Ismail yang melongo melihat “trem berkelenengan” di San Francisco seperti balita pertama kali lihat odong-odong, dengan Madame Toeti dihampiri “laki-laki kedinginan… minta karcis sobekan untuk menikmati sisa pertunjukan” di Metropolitan Opera di New York (“karcis 84 dollar tidak keberatan, masalahnya hanya parkir”—di “New York I Love You”), maka reputasi flâneur ndeso yang dipertahankan sampai sekarang oleh penyair-penyair angkatan Hallmark Indonesia seperti Aan “Tidak Ada New York Hari Ini” Mansyur rasanya agak terobati. The Empress Writes Back!
Bandingkan juga Goenawan yang mencemaskan “getar separuh senja antara deru mobil” (“Catatan-Catatan Jakarta”) dengan Toeti yang santai jogging di Jakarta sambil berkomentar nyinyir “nama-nama jalan telah diganti, sampai kehabisan pahlawan mati” (“Jogging di Jakarta” née “Aerobics di Jakarta”). LOL. Mungkin kekosmopolitan nyinyirnya/kenyinyiran kosmopolitannya ini salah satu penyebab revival nama Toeti Heraty sejak beberapa tahun terakhir di antara penyair-penyair muda Jaxel dan sekitarnya. Saat mereka (oke, termasuk saya) mencari-cari role model yang worldview-nya nyambung, pilih Jantung Lebah Ratu atau Pesta Tahun Baru? “Kantung air selebar pelana” (“Penyair”, Nirwan Dewanto) atau “gelas anggur di tangan” (“Cocktail Party”, Toeti ma kween)?
Hampir sedekade lalu (awal 2012), komunitas puisi online BungaMatahari menyelenggarakan Festival Tanpa Nama, pameran puisi-puisi yang nama pengarangnya dihapus kemudian pengunjung diberi stiker Mickey Mouse buat ditempelkan ke puisi favorit mereka. Pemenang favorit pembaca hari itu adalah puisi berjudul “British Traditional Breakfast” karya Sirikit Syah, yang menurut titimangsanya ditulis di Oxford tahun 2000 (kurang borju apa lagi). Belum pernah dengar Sirikit Syah siapa? Ibu Toeti sudah dong, ia yang mengumpulkan puisi-puisinya bersama 16 penyair perempuan Indonesia lain (termasuk dia sendiri) dalam antologi berjudul Selendang Pelangi (2006).
Ini juga yang asoy dari Madame la directrice, dia menggunakan privilese anak Mentengnya bukan cuma untuk mempromosikan dirinya sendiri tapi juga banyak sekali penyair-penyair perempuan lain. Selendang Pelangi bukan antologi penyair perempuan Indonesia pertama yang dia kumpulkan. Di tahun 1979 dia juga menerbitkan Seserpih Pinang Sepucuk Sirih: Bunga Rampai Puisi Wanita (“diprakarsai oleh” Ny. Nelly Adam Malik) yang berisi karya 19 penyair perempuan—termasuk penyair Lekra S. Rukiah, hampir 30 tahun sebelum Rukiah diterbitkan kembali Ultimus (2017)!—dan 9 pelukis perempuan. Kaum 0.1% membantu kaum 99.9%, Madame Toeti juga woke sebelum waktunya!
Di dalam antologi ini juga ada satu puisi oleh penyair bernama Soegijarti (penyair lain dapat lebih dari satu) yang dideskripsikan di bionya sebagai penulis yang “terkenal aktif dalam gerakan pemuda di awal zaman revolusi kemerdekaan di Yogya dan menulis puisi perjuangan dalam majalah pemuda ‘Seniman’ pimpinan Trisno Sumardjo dan ‘Revolusioner’ yang terbit di Yogya dan Solo.” Apakah ini Soegijarti yang sama dengan cerpenis dan penyair perempuan Lekra Sugiarti Siswadi alias Damaira yang juga orang Solo kemudian pindah ke Yogya? Perlu diselidiki. Calling Bilven Sandalista dan JJ Rizal!
Tanpa menunggu jawaban pun, jasa Madame la directrice sebagai gatekeeper yang rajin mengangkat nama penyair-penyair perempuan sudah jelas terbukti. Privilesenya memberinya kekuasaan untuk melawan dominasi gatekeeper laki-laki dalam sastra Indonesia dan dia melakukannya tanpa banyak cingcong.
Privilese itu juga membuatnya santai saja menghadapi gaslighting yang bertubi-tubi. Misalnya, blurb bukunya sendiri, Nostalgi = Transendensi (Grasindo, 1995), menyebutkan “penyair wanita Indonesia dapat dihitung dengan jari”. Bayangkan, di-gaslight penerbit sendiri! Kurang transenden nih sepertinya editornya sampai belum pernah baca Seserpih Pinang Sepucuk Sirih.
Monas, Pancoran, Kebayoran, Kuningan, Karet, Menteng Pulo, Tanah Kusir, Kampung Bali—beberapa nama tempat di Jakarta yang disebutkan dalam puisi-puisi Madame Toeti. Konkrit, spesifik. Dengan imaji-imajinya sendiri-sendiri yang familiar buat anak-anak Jxkxrtx. Cocok dengan kecenderungan beberapa penyair-penyair perempuan angkatan 2015-an ke atas seperti Farhanah, Ratri Ninditya, dan Gratiagusti Chananya Rompas (istri saya), yang gemar share loc (“Alfamart yang tidak terlalu alfa dibanding indo”, “buat apa ke brightspot!”, “dari jalan madura belok ke cik ditiro”) karena puisi adalah kenyataan, apa perlunya disamarkan?
Bandingkan dengan “sungai yang tak berkata-kata”, “puncak kota”, “rel-rel suram kemerlap”. Siapa yang bakal tahu puisi yang mengandung kata-kata ini ternyata tentang Jakarta kalau nama kota ini tidak tertera dalam judulnya (“Catatan-Catatan Jakarta” Goenawan Mohamad tadi)?
halo nyonya old money,
tahukah nyonya, kami semua tumbuh besar di balik kehangatan rambut sasak nyonya. sama sekali tak pernah ada niat di hati kami buat keluar. di sini nyaman, empuk sekali, bau melati.
merci dan salam hormat,
penyair2 mestizo paruh kedua 2000-an.
Begitu sebuah fantasy e-mail yang saya tulis di salah satu blog saya di awal tahun 2008, gara-gara habis menemui satu detil yang sangat menawan saya di puisi “Balada Setengah Baya”, yang tentang check-in di hotel, aktivitas yang sangat familiar buat saya di tahun-tahun itu. “Pas pintu berderak, dia masuk bawa tas echolac”—bukan, bukan rimanya yang menawan, tapi setelah meng-google kata “echolac” (memang ditulis dengan e kecil, paling tidak di edisi Nostalgi = Transendensi), ternyata itu adalah merek koper! Versi salaryman dari koper President yang dulu saya pakai di kelas 2 SD. Penemuan kecil inilah yang menghapus keragu-raguan saya untuk pamer nama-nama merek dalam puisi saya, toh saya adalah anak borjuis yang konsumtif dan suka berkoar-koar puisi adalah kenyataan, nggak nyata banget dong kalau saya nggak menyebutkan nama-nama mereka (punch me in the face if I ever say jenama). Dari dulu saya ingin menjadi coterie poet seperti Frank O’Hara, tapi akhirnya saya menyadari saya nggak punya banyak teman, hanya banyak barang. Merekalah coterie-ku! Speak, Repetto Zizi Hommes, Marni, Yohji, P.A.M., Margiela, Westwood, McMuffin!
Madame Toeti membebaskan saya, bebas mau ngomong tentang subyek apa saja, mau menyebutkan apa saja tentang subyek itu, pakai bahasa apa saja. Nasihatnya tentang puisi (dan hidup) yang paling kena bagi saya bukan baris dalam puisi “Post Scriptum” yang sejak dia meninggal sering dikutip di sana-sini, “antara menyingkap dan sembunyi, antara munafik dan jatidiri”, tapi baris di awal sajak “Panta Rei” yang sepertinya lebih tidak serius tapi sebenarnya adalah penggambaran hidup manusia yang paling padat, akurat, tidak perlu kiasan lagi: “‘kan selalu begitu, kita bicara ini dan itu.”
an image of noemetan
beberapa soal di luar isi cerpen “keluarga kudus” sunlie thomas alexander yang baru saja ditahbiskan sebagai cerpen pilihan kompas 2022 — terutama kemungkinan cerpen itu mengapropriasi cerita lisan istri sunlie sendiri, yonetha rao yang berasal dari timor (“cerpen di atas sebagian bahan ceritanya dari saya”, tulisnya sendiri di sebuah pembahasan cerpen tersebut di sebuah fb thread tahun lalu), salah satu dari beberapa kritik tentang cerpen ini yang diangkat oleh saut situmorang — sudah gencar sekali dibahas beberapa hari ini. saya tidak akan terlalu banyak bicara tentang hal tersebut di artikel kali ini, cukup rasanya untuk mengutip komentar narator omniscient (tuhan?) di cerpen keluarga kudus ini sendiri tentang apa yang umumnya terjadi pada gosip yang beredar dari mulut ke mulut: “setiap orang pun bisa menceritakannya ulang, persis seperti versi yang ia dengar atau sebagai versi barunya sendiri”.
di artikel ini saya lebih ingin meyambut deklarasi sunlie, “TAK ADA URUSANKU DENGAN PENILAIAN ORANG LAIN TERHADAP KUALITAS CERPENKU YANG MANA PUN! ITU KAN URUSAN PEMBACAAN ORANG TERHADAP CERPENKU!” [huruf kapital dia sendiri] dengan melakukan pembacaan dekat terhadap tema, gaya penulisan, dan ideologi-ideologi yang mungkin terselubung di dalam cerpen keluarga kudus. sukur-sukur bisa mengelaborasi dan atau membongkar maksud semi-mistis (karena nggak ada argumennya) ketua dewan juri cerpen pilihan kompas, putu fajar arcana, seperti dikutip oleh budi p hutasuhut di post fbnya: “ia lihai menjalin cerita. sunlie paham tengah memasuki wilayah sensitive, sarat aturan, mapan, tapi juga sophisticated.”
secara genre, cerpen keluarga kudus ini bisa digolongkan sebagai sebuah satir, cerita yang menyinyiri — menyorot dan mengungkap — hal-hal buruk tentang sekelompok orang, masyarakat, atau institusi dengan maksud mengkritisinya — sebuah kritik sosial. dalam cerpen ini, yang dinyinyiri secara langsung adalah institusi dan lingkungan gereja katolik di sebuah paroki di “noemetan”, yang menurut berbagai bahasan tentang asal-usul dan proses kreatif cerpen ini adalah sebuah area yang menjadi bagian dari keuskupan atambua di bagian indonesia pulau timor.
apakah noemetan ini seperti “dukuh paruk” ahmad tohari, sebuah nama tempat rekaan yang menyamarkan tempat beneran, atau seperti “mojo” dan “laban” martin aleida, nama tempat beneran yang sengaja dipertahankan di cerita-cerita sastra kesaksiannya, google tidak bisa memberikan kepastian. ada sungai bernama noemetan noetoko (beneran) di timor tengah selatan yang, seperti sungai bernama sama di cerpen ini yang sering “meluap hingga… memutuskan jalan desa”, menurut artikel-artikel berita juga sering banjir. selain itu, petunjuk di dalam cerpen yang mengidentifikasi setting lokal cerita ini sebagai sebuah tempat di timor adalah penggunaan dialek timor untuk dialog karakter-karakternya, kebanyakan berupa penggunaan kata-kata seperti “sonde”, “beta”, “sa”, “katong”. menurut keterangan sunlie di artikel panjang lebar tentang proses kreatifnya di balik cerpen ini yang dimuat di langgar.co, ia memakai “kosakata bahasa melayu kupang dan sedikit kosakata bahasa dawan.” alasannya, “itu semua menurutku berguna untuk menguatkan warna lokal cerpen saja.”
keluarga kudus, kecuali judul ironisnya yang menyinyiri keluarga kudus yang sebenernya nggak kudus, adalah jenis satir yang lebih mengandalkan karikatur dan olok-olok daripada ironi untuk melancarkan kritik sosialnya. makanya cerpen ini dipenuhi karakter-karakter jemaat paroki yang direpresentasikan memakai berbagai macam klise dan stereotipe orang-orang nggak bener: “ibu-ibu ceriwis yang suka mengomel” (salah satu dari beberapa penggambaran yang juga seksis), bapack-bapack yang ber-“sepeda motor tua dua tak” dan hobi “ngopi, nenggak sedikit sopi, lalu main catur atau gaple sampai larut malam”, atau oma yang “mendelik di tengah kepulan asap tungku” (seksis lagi? atau ageist? kenapa cameo seorang “janda tua” ini harus terjadi di dapur?).
itu dari segi karakterisasinya. dari segi plot (yang tipis banget), sepertinya sasaran utama kritik sosial cerpen ini adalah eksploitasi gereja pada jemaatnya yang dilambangkan lewat kewajiban membayar derma (derma tapi wajib, mungkin ini sebuah ironi juga) dan sumbangan pembangunan gedung paroki baru yang jumlahnya terlalu mahal dan bukan suka rela karena ditetapkan oleh romo. dan ternyata derma wajib itulah faktor penentu pemilihan “keluarga kudus” yang diparadekan di gereja sebagai bagian dari perayaan natal tiap tahun, bukan kekudusan anggota-anggota keluarganya. selain itu, juga ada gosip bahwa salah satu keluarga kudus dipilih karena sang istri yang “walau sudah beranak tiga” “tetap cantik memikat” dan “punya suara merdu” dianakemaskan oleh gereja karena “pernah berbuat skandal” dengan bruder, ketua lingkungan jemaat, dan mungkin bahkan romo sendiri.
menjadikan kebobrokan bukan hanya institusi gereja yang eksploitatif pada jemaatnya, namun juga jemaat gereja itu sendiri — yang hobinya cuma nyinyir, keseringan nongkrong daripada ke gereja, bejat, terlibat skandal seks dan biang gosip pula, alias sama sekali tidak kudus, sebagai target satir, bagi seorang penulis seperti sunlie yang dibesarkan sebagai katolik dan beristrikan seorang katolik dari timor (sehingga klaimnya mereka pun harus ikut membayar derma seperti yang diceritakan di cerpen itu) di atas kertas sepertinya cukup politically correct. dilihat dari kacamata politik identitas, sunlie bisa dianggap sebagai bagian dari identitas katolik sehingga punya hak untuk bercerita tentangnya dan mengkritisinya, dan sebagai suami seorang yang berasal dari timor mungkin dia bisa juga dianggap sebagai ally orang beridentitas timor.
sampai di sini mungkin cerpen keluarga kudus bisa dibandingkan dengan novel “temanggung, yogayakarta” arie saptaji, yang juga sebuah j’accuse, tuduhan, kritik, hardikan!, terhadap institusi dan lingkungan gereja. beda cara penulisan kedua cerita ini ada banyak, namun yang relevan disebutkan di sini adalah bahwa temanggung, yogyakarta ditulis sebagai sebuah bildungsroman, novel drama coming-of-age, bukan satir, menggantungkan diri pada penyelaman psikologis terhadap watak karakter-karakternya dan bukan pada olok-olok terhadap mereka, dan bahwa penulisnya bukan hanya pernah hidup (bahkan bekerja) di dalam institusi gereja yang dikritiknya namun juga bertempat tinggal di lokasi-lokasi tempat gereja tersebut bernaung yang kemudian menjadi setting novelnya.
tentu seorang penulis tidak mutlak harus mengalami sendiri semua yang ditulisnya. jonathan swift, salah satu satiris paling besar dalam sejarah, tentu tidak perlu harus main dulu ke lilliput, brobdingnag, atau laputa buat nulis gulliver’s travels. tapi kenyataan bahwa f. rahardi adalah editor majalah trubus tentu sangat membantunya menulis mahakarya satir lingkungan hidupnya, migrasi para kampret. (nggak perlulah jadi kampret beneran, batman dong.)
tapi apakah menjadi identity-politically correct cukup untuk membuat keluarga kudus bersih suci sama sekali dari dosa “kolonialis” dan “rasis” seperti yang dilakukan penulis “macam multatuli dan joseph conrad yang ngejek-ngejek masyarakat lokal yang bukan masyarakatnya sendiri dalam karya mereka”, seperti yang dibilang saut situmorang?
di sinilah ketergantungan sunlie pada karikatur dan olok-olok klise (lihat juga “cibiran bibir mencong, cemooh dan bisik-bisik yang terdengar seperti denging nyamuk dari sekalian kaum mama dan nona” — lagi-lagi juga seksis, sebenernya hanya bentuk sastrawi berbunga-bunga dari “cewek-cewek bigos”) bisa jadi memang telah menjerumuskannya pada kubangan dosa yang sama bareng multatuli dan conrad.
analisa tentang kolonialisme dan rasisme dalam max havelaar, novel multatuli, bisa dibaca dalam esai saut “max havelaar: buku yang membunuh kolonialisme?” di bukunya yang terbaru sastra dan film atau di situs boemipoetra. perbandingannya dengan kemungkinan kecenderungan kolonialis dan rasis sunlie dalam cerpen keluarga kudus biarlah nanti saut sendiri yang menuliskannya. sembari kita menunggu (ih seru), perbandingan antara keluarga kudus dan karya conrad yang dimaksud saut, heart of darkness, bisa dimulai dengan membaca esai klasik novelis nigeria chinua achebe, penulis novel dekolonial things fall apart, tentang conrad yang berjudul “an image of africa: racism in conrad’s ‘heart of darkness’”.
dalam esai ini, achebe mengatakan bahwa “eropa selalu punya hasrat untuk menjadikan afrika sebagai alat pembanding, sebagai ‘tempat negasi’ yang jauh tapi akrab, yang jika disandingkan dengan eropa maka keagungan spiritual eropa akan lebih nyata lagi terlihat.” lebih jauh ia kemudian menunjukkan bahwa “heart of darkness menggambarkan afrika sebagai ‘dunia lain’, antitesis dari eropa dan peradaban.”
dalam artikel profilnya yang dimuat di kompas setelah keluarga kudus diumumkan jadi cerpen pilihan kompas, yang oleh penulis-penulis mainstream masih dianggap sebagai barometer sastra indonesia, sunlie mengklaim bahwa dalam cerpen ini “saya tak bicara ranah agama tertentu tapi semuanya.” ini klaim yang walaupun bisa dimengerti alasan praktisnya (males juga dituduh menyinggung SARA), namun melemahkan potensi cerpennya sendiri dan menambahkan berbagai problem etis soal apropriasi. sekarang problemnya bukan hanya apakah sunlie mengapropiasi cerita yonetha, tapi apakah pantas seorang penulis dari belinyu-yogya mengapropriasi cerita dan kehidupan gerejawi di timor, dan mengejek-ngejeknya sebagai sebenernya un-gerejawi, un-kudus, (hanya) untuk mengkritisi agama-agama lain?
kalau nggak bicara ranah agama tertentu (orba banget bahasanya) kenapa memakai cerita tentang kebobrokan institusi dan lingkungan gereja? pertama, kasian amat gereja lagi-lagi harus memikul salib jadi sekedar kendaraan slash metafora buat nyinyirin agama lain atau agama secara umum (sering dilakukan dalam berbagai bentuk seni di indonesia, misalnya olok-olok terhadap gereja katolik di film pintu terlarang joko anwar)? kedua, memangnya detil-detil kebobrokan dalam gereja dan lingkungannya sama dengan kebobrokan dalam islam atau agama lain? bisa dimengerti kalau sunlie males juga jadi charlie hebdo, mengolok-olok islam dengan konsekuensi yang mungkin sekali lebih fatal. tapi apakah adil bagi katolisisme dan orang katolik timor untuk diolok-olok — dijadikan “tempat negasi” dan “dunia lain” seperti afrika dalam heart of darkness conrad — hanya untuk menunjukkan kegemilangan spiritual… siapa?
dalam heart of darkness naratornya adalah marlow (masih difilter lagi oleh narator kedua yang samar-samar), walaupun seperti achebe dengan jeli perlihatkan, marlow ini sama aja kayak doppelgänger conrad. jadi siapa atau apa yang diwakilkan oleh suara narator yang patronising, condescending dan, memakai istilah saut, ngejek-ngejek di cerpen sunlie? kesuperioran moral si omniscient narrator? jika itu adalah suara sunlie sendiri, apakah yang dianggap superior adalah… moralitas sunlie? sehingga ia merasa pantas untuk mengolok-olok karakter-karakter orang timor di noemetan? bahkan mengapropriasi mereka sebagai senjata serangan satirnya terhadap institusi agama di ranah bukan tertentu di indonesia? ketiga, makin problematik lagi, cerpen keluarga kudus, memakai istilah yang beberapa kali dipakai untuk mengkritik penggambaran keluarga miskin parasit di film parasite bong joon-ho, juga melakukan “punching down”, merendahkan, men-dehumanisasi sekelompok orang yang katanya sedang dibela harkatnya (di kasus sunlie, jemaat yang dieksploitasi gereja). apakah semua ini yang dianggap “lihai” oleh putu fajar arcana?
satu lagi tanda bahwa, seperti penggambaran orang afrika dalam heart of darkness, penggambaran orang-orang noemetan dalam cerpen keluarga kudus kemungkinan juga kolonialis dan rasis seperti yang dituduhkan oleh saut, adalah pemakaian dialek timor, seperti kata sunlie sendiri, “untuk menguatkan warna lokal cerpen saja”. menurut achebe, dalam heart of darkness conrad menganggap “bahasa terlalu megah buat orang-orang ini [karakter-karakter afrikanya], mereka cukuplah ngomong pakai dialek!” dari manakah gaze kolonial di cerpen keluarga kudus berasal? apakah dari jogja? jawa? dari “indonesia”? atau dari “sastra indonesia”? atau dari “cerpen kompas”? yang merasa lebih modern dan bisa berbahasa indonesia yang baik dan benar seperti narator cerita ini?
kuasa kolonial kompas dalam sastra indonesia, seperti telah disindir oleh budi p hutasuhut dalam postnya, sangat relevan untuk dipertimbangkan dalam menimbang cerpen keluarga kudus. yang “tengah memasuki wilayah sensitive”, seperti dibilang putu fajar arcana, sebenarnya bukan cuma sunlie pengarangnya, tapi juga kompas penerbitnya. punya hak apa kompas di palmerah, jakarta, memuat cerita yang “ngejek-ngejek” masyarakat di noemetan, timor? kalau yang dimasuki oleh cerpen ini benar “wilayah yang sensitive”, apakah ada di dalam cerpen ini, meminjam apa yang dianggap absen juga dari heart of darkness oleh achebe, “frame referensi lain yang bisa kita pakai untuk menilai tingkah laku dan pikiran karakter-karakternya”, selain nada mengolok-olok, ngejek-ngejek, naratornya?
narator sama yang sepertinya tanpa merasa bersalah juga mendeskripsikan “bibir mencong”, “bokong molek” (“terbalut ketat kain tais tenunan”, tak pelak lagi untuk “menguatkan warna lokal saja”?), “bisik-bisik seperti denging nyamuk mama dan nona”, serta “menyeka keringat di lehernya yang berlemak” (kenapa harus berlemak? apa relevansinya ngejek-ngejek body shaming dalam satir kritik sosial yang coba dilancarkan cerpen keluarga kudus ini?). sensitif nggak nih narator cerpen ini dalam memasuki “wilayah sensitive” ceritanya?
achebe dalam esainya juga menyitir kritikus inggris f.r. leavis yang dengan jeli mendeteksi “adjectival insistence” conrad dalam heart of darkness, ketergantungannya pada kata sifat yang “emotive” (istilah achebe) untuk mendeskripsikan afrika dan orang-orangnya. kecenderungan ini sering dianggap sebagai sekedar “stylistic flaw”, kelemahan gaya, oleh kritikus barat, namun menurut achebe, “jika seorang penulis berpretensi merekam adegan, insiden dan akibatnya, tapi sebenarnya sedang sibuk berusaha menghipnotis pembacanya dengan cara menghujani mereka dengan kata-kata emotif dan tipuan-tipuan lain, maka ini sudah bukan masalah kelemahan gaya saja”. menurut achebe justru ini sebuah “under-hand activity”, aktivitas yang disembunyikan, yang seharusnya menimbulkan banyak pertanyaan tentang “artistic good faith”, kemauan baik, si penulis tersebut.
pertanyaan soal artistic good faith ini juga patut diajukan kepada sunlie dan cerpen keluarga kudusnya. hal itu meliputi kemungkinan apropriasinya terhadap cerita orang lain hingga apa yang dia lakukan dengan apropriasi itu. apakah untuk “mengkuduskan” karakter-karakter dan lingkungan yang sepertinya mewakili jemaat katolik di noemetan in real life (ini toh cerpen realis), atau mengkritik mereka, atau meminjam cerita mereka untuk mengkritik semua institusi agama (atau “ranah agama tertentu” tapi belum tentu katolik?), atau malah hanya untuk ngejek-ngejek mereka? untuk masalah etika apropriasi ini mari kita tunggu esai saut, untuk sementara dengan melakukan pembacaan lumayan dekat atas gaya bercerita dalam cerpen keluarga kudus ini, terutama soal suara naratornya dan penggambaran karakter-karakternya, sepertinya ada lumayan banyak bukti bahwa cerpen ini, meminjam istilah achebe lagi, melakukan dehumanisasi meskipun samar-samar, disembunyikan dalam olok-olok yang sepertinya diterima begitu saja oleh pembaca yang tidak kritis — atau paling tidak oleh juri cerpen pilihan kompas — terhadap orang timor. sebuah bentuk gaze rasis dan kolonialis yang bisa saja tidak disengaja, namun biarpun under-hand, tetap ada dan terasa.
rums
rumah. aku hendak pindak rumah. rumah kata. sebuah bangunan yang terus berubah dari rangkaian patahan lidi. kunci. kakus menabuh kamar koran minggu. rumah daging. rumah pikiran. gudang. di mana tempatmu dalam sastra indonesia, mikael? mau bertamu ke rumahnya atau puas saja melempari batu ke atapnya? tapi aku bukan teman dari atap bahasa? siapa yang mau bertamu kalau tuan rumahnya jejeritan histeris seperti korek api membakar almari es?
kenapa (imaji) (tentang) rumah kayaknya penting banget buat penyair indonesia? kerna rata-rata gak punya rumah, saut menjawab. aku sad emoji. kalah dong ama keong, benki menjawab saut. aku lol emoji.
aku kagum emoji melihat postingan-postingan facebook malkan junaidi, the other mj, menguli membangun rumah, pesantren, sekolah, 80 ribu rupiah per hari. kupikir, lumrah juga judul buku puisi barunya pakai kata rumah, he can fuckin build the damn thing!
rumah daging dan pikiran. seperti apa rumah yang menyimpan daging, yang dibangun dari pikiran, harian borongan mana yang lebih efektif dan ekonomis dan puitis?
the other mj in his spare time (kok bisa masih punya spare time! :o) juga menerjemahkan the waste land, les fleurs du mal, some dude who won the nobel prize; juga mampu meruntuhkan reputasi kepenyairan nirwan dewanto dengan cukup satu zinger saja di facebook: “kita ndak usah baca puisi, nirwan. kita baca kamus saja”. aku rofl emoji. where does he get the energy?
buku baru ini kata malkan “tidak diberi label buku puisi atau kumpulan puisi. sebagian isinya mungkin bisa disebut puisi.” aku komen, kumpulan tulisan dong? haha. kayak buku anya rompas yang terakhir, e_____y, yang diberi label kriptik itu. pesan dua ya.
akankah buku baru ini lain banget dari buku-buku malkan sebelumnya? “di bawah cahaya yang terpancar dari ingatan chelsea islan terbang ke lidah bulan”. much wow poetic tropes. cahaya, ingatan, bulan, lidah bulan. gimana caranya melarikan diri dari rumah puisi indonesia?
murid kehidupan. jemari cinta. turbin permenungan. dusun kenangan. kuntum mimpi. vast dying sea of boredom. pity you parachute pants of my soul. kok masih puisi indonesia? thumbnail (pake italic) keberadaan. okay, a bit internet of things, a bit kitsch. apakah ini yang ia sebut sebagai “membahasakan yang belum terbahasakan” (“simulakra”, hal. 67, salah satu dari beberapa puisi tentang proses kreatif menulis puisi di buku ini. yang lain misalnya “mediokritas”, hal. 63, dan ya, “proses kreatif”, hal. 49, ketiganya di dalam bab “ruang kerja”). maybe more like membahasakan yang belum terbahasakan pake bahasa yang i’m sorry tapi udah basi, yang udah sering dipakai penyair-penyair lain?
padahal buku ini rapi-jali. nothing out of place. puisi-puisi (tulisan-tulisan) semua disimpan di bab-bab yang baik dan benar. impresi 02:00 di “beranda” (lagi nongkrong ya?); malam tak usai di “ruang tamu” (lanjut nongkrong! halo hamzah!); proses kreatif, ilham, dan pengaruh di “ruang kerja”; historiografi di “gudang” (setuju!); menghadapi-mengimani-upacara kehilangan di “ruang sungkawa”; hari tua di “ruang tafakur” — membacanya dari depan ke belakang seperti jalan mengikuti alur rute pengunjung IKEA (you are here and 5 hours later you’re still gonna be here) tapi isinya informa.
btw, cover buku ini didominasi warna biru dengan tulisan kuning — warna IKEA!
tapi apakah cukup untuk menjadi rapi-jali di dalam dunia puisi indonesia mainstream yang stagnan? cukupkah memuisikan renungan-renungan yang sudah pernah diartikulasikan penulisnya lebih dulu dengan sangat jernih di facebook menjadi tulisan-tulisan prosaik-esaistik tapi dengan diksi puitis (the real puisi esai!) yang sayangnya malah sering bikin pikiran-pikiran penulisnya jadi lebih gak jelas dibacanya?
contoh: semua tulisan di bab ruang kerja esensinya adalah versi puisi yang prosaik-esaistik banget (coba aja memobilisasi baris-barisnya dengan menghilangkan semua enjambmentnya jadi paragraf biasa aja) dari postingan malkan di bawah ini (yang dimulai dengan membahas upah kuli bangunan vs. honor menulis puisi dari almarhum ahmad yulden erwin (honor puisi aye masih kalah)):
Penyair biasa memulai sebuah tulisan dari ilham, epifani, atau momen ketersingkapan, yang mana seperti tusukan jarum pada plastik, otomatis membuat air di dalamnya memancar; yakni begitu epifani dialami, umum mewujud sebagai sebuah gagasan segar, sebuah kesadaran dengan perspektif yang belum pernah diketahui, maka bagian-bagian pendukungnya muncul dengan sendirinya, mengalir begitu saja. Adapun jika penyair menulis tidak dari epifani, maka prosesnya lazim tersendat-sendat. Kalaupun lancar maka sering jatuh pada klise.
Masalahnya untuk tiba pada epifani tidak ada cara praktis sebagaimana cara kerja kuli bangunan. Ia adalah satu titik di ujung sebuah proses psikologis yang kompleks. Merenung mungkin dapat dibayangkan sebagai cara praktis dan ideal. Namun berdasarkan pengalaman pribadi, epifani muncul sering justru ketika saya tidak sedang merenung. Kadang ia muncul saat saya menyaksikan sebuah peristiwa unik, atau ketika saya mendengar susunan kata tertentu. Ada sesuatu rasa dan pengertian yang terakumulasi di benak, menunggu sesuatu pemantik yang mengubahnya ke dalam wujud kata-kata. Karenanya musykil dipastikan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah puisi. Berapa lama pengakumulasian itu tak diketahui, demikian pula kapan pemantik ditemukan.
bandingkan dengan:
“Kau memang setuju menulis berarti membahasakan yang belum terbahasakan — hasrat, nestapa, amarah, epifani — tapi kau menolak mendongeng sekadar untuk menghapus kebosanan pembaca;”
(aslinya:
Kau memang setuju Menulis berarti membahasakan Yang belum terbahasakan —Hasrat, nestapa, amarah, epifani— Tapi kau menolak Mendongeng sekadar untuk Menghapus kebosanan pembaca;b - "Simulakra", hal. 67)
atau:
“Sebentar lagi. Ini belum sungguh matang. Kecilkan apinya. Setel alarm itu. Kita tidak ingin ia jadi gosong.”
(aslinya: Sebentar lagi. Ini Belum sungguh matang. Kecilkan apinya. Setel Alarm itu. Kita tidak Ingin ia jadi gosong. - "Menunda", hal. 55)
buku ini juga punya referensi yang cukup luas. eliot yang sedang dia terjemahkan, walaupun sayangnya dijelas-jelasin alusinya (“Kemerdekaan adalah pasien di puisi / Eliot, terbaring tanpa daya di atas / meja… dst.” – “Kubisme Agustus”, hal. 12) jadi sama aja kayak nirwan dewanto (“(Aku berhutang ungkapan ini kepada seorang penyair dari negeri putih, pegandrung burung hitam…)” – “Burung Merak” dalam Jantung Lebah Ratu, hal. 66) in a poem dedicated to Wallace Stevens 🙄); “Mencari ✓ Rimbaud, / ✓ Eliot, / ✓ Paz, / ✓ Neruda” (“Mediokritas”, hal. 64); anya rompas dalam sebuah review e_____y yang dipuisikan, dengan irama, nada, dan tipografi yang mendekati pastiche (better pastiche than nirwan!), di “Sebuah Buku”, hal. 60; ahmad yulden erwin, extra point buat bikin makian klasiknya di fb “lari-lari kambing” jadi abadi di “Meja Putar”, hal. 122; plus a tribute to umbu and a savage read on sapardi (pernah dia belejeti juga perpuisiannya di fb). kalau kamu merasa referensi yang luas sebagai penanda puisi yang bagus, maka kamu akan merasa buku ini mengandung puisi-puisi yang bagus.
sebelum membaca buku malkan baru ini, saya membaca kembali chelsea islan terbang ke bulan. yang mengusikku pas baca, kebanyakan puisi-puisi di situ puisi cinta, biasalah ya, par for the course dalam puisi indonesia, tapi kenapa sih sebenarnya? how did this happen? apakah karena diam-diam puisi indonesia mainstream masih belum berkembang jauh dari soneta menye-menye roestam effendi dengan segala ungkapan-ungkapan klisenya? “kalung perjalanan hidupku”, “cahaya nubari”, “dipetik jari”, hmmm…
puisi-puisi bukoswki kw69 hamzah muhammad yang sering diceng-cengin malkan junaidi pun sering juga menye klise! contoh: “Hari ini kau dilanda gundah. / Rileks. Karena gundah / senantiasa gulana.” – “Mau Bagaimana Lagi” dalam Hompimpa Alaium Gambreng hal. 26). kalau penyair yang dianggap paling edgy dalam skena sastra nongkrong indonesia pun ternyata lebih regressive dangdut daripada progressive dangdutnya soneta group gimana dong!
malkan bukan gak sadar tentang kecenderungan(nya) ini. dalam satu lagi promo bukunya di facebook (he’s a great marketeer!) dia bilang, “Buku-buku saya sebelumnya (buku kedua dan ketiga) ada yang bilang menye-menye, so-sweet-wanna-be. I think this one tends to offer something different.
“
so what’s so different (i imagine bukan cuma dibandingkan buku-buku dia sebelumnya tapi juga dengan puisi indonesia pada umumnya?) and how?
mixed results. dibandingkan buku-buku malkan sebelumnya, mungkin rumah daging dan pikiran punya ambisi yang lebih besar dan terdengar filosofis. klaim malkan buku ini adalah “suara dari manusia yang tak mengingkari jati dirinya sebagai makhluk berakal sekaligus bernapsu.” daging sekaligus pikiran, i see. but isn’t that also a bit of a cliché?
dibandingkan dengan kunci ts pinang yang mencoba mengindekskan lebih jauh (daripada afrizal) dunia dan hubungan-hubungan semiotik di dalamnya, ruang daging dan pikiran lebih asyik mengindekskan dirinya sendiri dengan bahasa yang sepertinya ketularan keklisean ambisinya. bahasa di dua buku malkan sebelumnya (buku pertama dan kedua), lidah bulan dan di bawah cahaya yang terpancar dari ingatan terhadapmu (despite the latter’s title), malah terdengar lebih segar dan direct: “Bono telah selesai bersolek dan menjadi dinamit yang paling manis sekarang dan mengintai mangsa-mangsa paling fanatiknya dari balik kacamata seribu dollar.” (“The Fly: Ode dari Sebuah Tong Sampah” dalam Lidah Bulan hal. 46); “kita mengulang adegan. dua puluh delapan kali. melemparkan kucing, kursi, dan air ke udara. membekukan adegan-adegan itu dengan sebuah remote control.” (“Mengulang Adegan” dalam Di Bawah Cahaya…, hal. 4).
kalau percaya camille paglia, bahwa puisi yang bagus adalah puisi yang “catch[es] the light at unexpected angles and illuminating human universals” (“Break, Blow, Burn”, hal. xiv), maka either rumah daging dan pikiran ternyata kurang ambisius, merasa cukup dengan illuminating personal struggle penyairnya untuk tidak (lagi?) “mengingkari jati dirinya”, atau kepuisiannya kelelep dalam keklisean sehingga tidak mampu menangkap “light at unexpected angles” tadi (walaupun sepertinya yang dimaksud paglia di sini mirip dengan yang dimaksud malkan dengan epifani).
dibandingkan dengan buku puisi indonesia lain yang memakai struktur rumah, rumah daging dan pikiran malkan lebih mirip dengan, misalnya, aku hendak pindah rumah aan mansyur. semua isinya tertata rapi siap menerima tamu-tamu pembacanya (ketularan klise nih bahasaku xixixi) yang akan digiring dari beranda ke ruang tafakur (malkan), dari taman depan ke taman belakang (aan). sebagian mungkin puas-puas aja dengan something yang a bit different but not that different; sisanya garuk-garuk kepala — apa sih thumbnail keberadaan? — and left wanting something more radical.
osean
goddess white-armpitted see
panas tapi masih mau
mungkin nanti mampir papaya beli eclair
your nose pockmarked beauty
tinggal dikerok masuk angin
child-rearing magnifico hips
aku temukan rumah pohon untukmu
sungai dingin dahan onesie
at half trot kena lampu
maghrib bau lavender
rattled by the lush
pagar hitam menunggu
udah lama nggak ke pand'or
a sonnet to contain a hole



